Selasa, 28 Mei 2013

PAHITNYA KEHIDUPAN


“KECANTIKAN” tidak untuk menundukkan kehidupan. Karena kehidupan tidak dapat ditundukkan oleh kecantikan. Tapi, peluklah kehidupan, sayangi, dan cintai kehidupan. Karena akan membawa kita pada puncak kehidupan. Dan “Sinar kecantikan” itu akan timbul dengan sendirinya
Kesedihan, kekecewaan, dan kebahagiaan merupakan “Tamu” pada diri kita, yang akan selalau berkunjung ke dalam diri kita. Jadi, terimalah tamu tersebut dengan senyum dan ketabahan
Tidak ada kekurangan dan kelabihan, tapi bagaimana kita bisa berada di atas puncak dari kekurangan dan kelebihan tersebut. Dan menerimanya secara totalitas. Mensyukuri pemberian Tuhan maka “Sinar kecantikan” itu akan timbul dengan sendirinya.
Dipihak lain, ada sebagian orang yang terus lari dari kenyataan hidup. Segala energi dihabiskan untuk pelarian itu. Betapa pun biaya akan keluar. Sejauh apa pun perjalanan akan ditempuh demi mendapatkan kenyamanan hidup yang diinginkan. Hidup akhirnya menjadi pelarian yang tiada akhir.
Kenyataan hidup memang tidak mudah. Penuh kesulitan dan kepedihan. Di mana, kapan, dan apa pun posisi seseorang anak manusia tidak akan lepas dengan kenyataan pahit itu. Masalahnya, tidak semua orang sadar dan siap tentang kenyataan seperti itu. Kegetiran dipahami sebagai siksa, dan ketidaknyamanan hidup ditangkap sebagai kelemahan diri. Dan dari situlah tidak sedikit orang yang akhirnya putus asa. Tiba-tiba, semangat hidupnya menjadi redup.
Bagi sebagaian orang kepahitan hidup justru menjadi pelajaran berharga. Kepahitan hidup menggiring seseorang menuju kesuksesan. Kepahitan memang tidak menyenangkan. Tapi dari kepahitan itulah cita-cita bisa diraih.
Sabar dan Shalat
Allah SWT menurunkan petunjuk kepada manusia untuk membaca kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan akhirnya dikumpulkan dan dipupuk. Dan kekurangan dikikis semampu mungkin. Dari situlah manusia mempunyai kekuatan untuk menatap dan menata kehidupannya.
Di samping itu pula, sebagai manusia religius seharusnya kita tak panik dalam menghadapi pahitnya kehidupan. Dan sebagai seorang hamba Allah paham bahwa itulah kenyataan kehidupan. Ada ketakutan dalam diri yang harus dimunculkan, yaitu kesabaran.
Ya… kesabaran. Dengan menegakkan salat dan sabar manusia diharapkan mampu menghadapi lika-liku kehidupan yang berliku-liku. Karena dengan salat dan sabar manusia mendapatkan pertolongan dari Allah. Salat dan sabar adalah solusi di dalam Islam. Jika kita tahu makna sesungguhnya dari salat dan sabar itu. ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kapadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2] : 155).■

Hermawan Soediro

MENYIKAPI PAHAM PLURALISME AGAMA

Semua agama sama.
Semua menuju jalan kebenaran.
Jadi, Islam bukan yang paling benar.
Bagaimana komentar Anda apabila disodorkan sebuah kalimat seperti itu? Apakah Anda mengiyakannya? Membantahnya? Ataukah Anda hanya diam saja?
Kalimat di atas adalah paham orang-orang yang mengusung paham Liberal, menyebarkan paham pluralisme agama. Mereka itu tidak lain adalah orang-orang yang mengaduk-adukan Akidah Islam. Yang mereka pakai justru paham-paham di luar Islam lalu dicampur aduk dengan paham tasauf sesat yang merusak Islam. Ada keracunan paham dipertemukan dengan keracunan paham yang lainnya, sehingga terbentuklah keracunan yang baru, yaitu pluralisme agama model JIL.
Para pengusung paham Liberal membuat reka-rekaan, bahwa kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam selaku utusan Allah Ta’ala tidak untuk menghapus agama-agama sebelumya, namun hanya menyempurnakan. Ujung-ujungnya hanyalah menjadi miqollid (pembebek) paham rusak Ibnu Arabi, yaitu Wihdatul Adyan, karena datangnya dari Allah, itulah paham liberal yang pengusung paham pluralisme agama yang menyamakan semua agama.
Dengan demikian inilah “Akidah yang berbeda, yang mengusung akidah rusak berupa paham pluralisme agama, menyamakan Islam dengan agama-agama lain.” Dan anehnya, orang-orang berpaham pluralisme agama itu masih mengaku dirinya Islam, walau diembel-embel menjadi liberal. Padahal pahamnya itu sendiri mengandung penafian Islam, memadamkan Islam dan sekaligus menghancurkan Islam secara perlahan-lahan. Maka antek-antek Yahudi dan Nasrani yang mengaku Muslim tidak rela apabila Islam masih utuh seperti apa adanya. Mereka berupaya keras demi mengikuti kemauan bossnya, maka dipreteli dan dikelupaslah Islam ini, sehingga lepas satu-persatu, tidak tersisa lagi. Hingga Islam tinggal namanya, Alquran tinggal gambar da hurufnya.
Terkadang, banyak manusia terlena tapi tidak menyadari bahwa dirinya terlena, atau ia bodoh tapi tidak menyadari bahwa dirinya bodoh, atau bahkan ia tersesat dan menyesatkan tapi tidak menyadari bahwa dirinya tersesat dan menyesatkan, karena barangkali memang demikian Allah telah mengunci mati penglihatan, pendengaran, dan hatinya.
Mereka mengerti dan memahami tentang suatu kebenaran, tapi ia tidak mau mengikutinya. Meraka mengerti dan memahami tentang suatu larangan, tapi meraka juga tidak mau menghidarkannya. Padahal sesungguhnya ia bisa dan mampu untuk itu. Meraka cenderung menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan dan ilmunya sebagai hiyasan dan kebanggaan untuk mancari pujiaan dan popularitas dalam kehidupan dunia belaka. Maka yang demikian inilah, pertanda sebuah petaka yang sangat berbahaya bagi umat manusia telah mengancam.
Memang, tidak ada siapa pun yang berhak melarang seseorang untuk berbicara atau berpikir, asalkan perkataan atau pikiran itu adalah bagian dari hak asasi atau paling tidak, itu adalah merupakan potensi yang harus dihargai. Namun jika sebaliknya; perkataan dan pikiran itu membahayakan orang lain, cenderung menyelewengkan dan melecehkan ayat-ayat Alquran dan Sunnah-sunnah Rasulullah, menghujat para ulama, memutar balikan fakta dan dalil, maka ini bukan lagi hak asasi atau potensi yang harus dihormati, tetapi adalah sebuah kezhaliman dan penghinaan yang harus dicegah dan dimusnahkan. Apalagi kalau hal itu dipasarkan dan diobralkan laksana dagangan murahan yang tidak diharapkan darinya, kecuali hanya keuntungan materi yang tidak menyenangkan.
Maka diperlukan sikap kritis dan objektif dalam memandang suatu pemikiran atau paham tertentu, terutama yang sudah sering disoroti sebagai sesat, melenceng, atau nyeleneh. Karena bukan tidak mengkin ada sebab-sebab atau maksud-maksud tersembunyi di balik eksistensi suatu paham atau pemikiran. Entah itu karena motifasi duniawi yang ingin mengejar kekayaan harta benda, faktor ambisi kekuasaan, ingin sensasi dan terkenal, hendak memecah belah umat, atau memang dikarenakan ketololan sipemimpin itu sendiri? Dengan demikian, kita bisa bersikap dewasa dalam mengahadapi paham dan pemikiran yang dianggap nyeleneh, melenceng, sesat tersebut serta tidak mudah tertipu untuk larut tersesat di dalamya.***

Hermawan Soediro

MENGAMBIL PELAJARAN DARI BERBAGAI KISAH PARA NABI 

 UMAT terdahulu telah mengalami begitu banyak bencana alam yang dahsyat diakibatkan mereka menolak kebenaran dan tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah Allah dan tidak pula menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemaksiatan dan kedurhakaan menjadi sesuatu yang sangat digemari.
Orang-orang yang berkuasa berbuat zalim, sedangkan rakyat jelata berpaling dari kebenaran. Yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan, sehingga datanglah teguran dan kemurkaan Allah. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat yang sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. (QS. Yunus [10] : 13).
Selain itu, marilah kita menoleh sejenak kepada apa yang terjadi di zaman nabi terdahulu, di antaranya Nabi Nuh as. Nabi Nuh as berdakwah di tengah kaumnya yang ingkar kepadanya, namun hanya sedikit sekali yang mau mengikuti seruannya untuk mentauhidkan Allah. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-A’raf [7] : 59-60).
Lalu setelah umatnya menentangnya dan tidak mengindahkan seruan dakwahnya, Allah SWT berfirman: “Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)” (QS. Al-A’raf [7] : 64).
Maka jelaslah bagi kita bahwa ayat-ayat Alquran telah menjelaskan begitu banyak peristwa, dan hendaknya kita mau mengambil pelajaran di dalamnya. Janganlah kita menjadi kaum yang dikecam Allah SWT dalam Alquran, yaitu kaum yang tidak mau mengindahkan peringatan-peringatan yang telah terjadi dan pasti dapat berulang kembali kejadiannya di tempat berbeda dan umat yang berbeda pula akibat kelalaian dan mempermainkan ayat-ayat Allah SWT.
Sementara di tengah kita saat ini, berbagai kekufuran dan keingkaran pun telah dilakukan umat manusia. Dosa-dosa dan kemaksiatan bertebaran di tengah masyarakat dan dilazimkan oleh generasi penerusnya, sehinggga seruan agama tidak dihiraukan. Agama mulai jadi bahan olok-olokan, senda-gurauan dan bahkan ada pula yang lantang menetang kesucian Islam, memelintir ayat-ayat Alquran, menyerang keyakinan umat Islam dengan segala pemikiran-pemikiran yang diada-adakan.
Bahkan, sejumlah media menyiarkan turut pula menjadi corong kemaksiatan, corong propaganda kerusakan moral dan akhlak. Seruan dakwah dilawan sebagaimana menghadapi musuh besar, padahal dakwah amar ma’ruf nahi munkar betujuan salah satunya menjauhkan manusia dari liang kehancuran dan menyelamatkan manusia dari kemurkaan Allah SWT.
Janganlah sampai kita menghadapi apa yang Allah SWT ingatkan dalam firman-Nya: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6] : 44).***

Hermawan Soediro

HIKMAH SAKIT BAGI MANUSIA

“Tidaklah orang Muslim ditimpa cobaan berupa penyakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan keburukannya, sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya.”
(HR. Bukhari-Muslim)
SETIAP orang pasti pernah mengalami sakit. Rasulullah SAW sendiri mengalami sakit demam berat. Namun begitu Nabi tetap sabar dan tabah. Beliau mengatakan kepada Ibnu Mas’ud ra, bahwa penyakit yang datang ke dalam tubuh seorang Muslim itu dapat menggugurkan dosa sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya.
Dalam waktu lain, Rasulullah menjenguk Salman al-Fahrisi yang tengah berbaring sakit. Rasulullah bersabda. “Sesungguhnya ada tiga pahala yang menjadi kepunyaanmu dikala sakit. Engkau sedang mendapat peringatan dari Allah SWT, doamu dikabulkan-Nya, dan penyakit yang menimpamu akan menghapuskan dosa-dosamu.”
Rasulullah pun melarang untuk mencela penyakit. Ketika Ummu Saib sakit demam dan mencela penyakit yang menimpanya, Nabi bersabda. “Janganlah kamu mencela demam. Karena sesungguhnya demam itu menikis kesalahan anak cucu Adam sebagaimana bara api mengikis keburukan besi.” (HR. Muslim)
Hikmah Sakit
Dalam sebuah buku yang berjudul Yasalunaka fi al-Dinwa al-Hayat dan dikutip dalam Tabloid Syiar, Dr. Ahmad al-Syurbasi menulis ada lima hikmah dari sakit yang dialami manusia. Pertama, sakit merupakan kesempatan untuk beristirahat. Kecendrungan manusia saat sehat adalah memperlakukan tubuhnya laksana robot. Ia terus bekerja demi mengejar kenikmatan dan kesenangan materi tanpa henti dan tanpa memperhatikan kesehatan diri sendiri. Ia tidak menyadari bahwa otot-otot yang ada dalam tubuhnya memiliki keterbatasan.
Maka ketika seseorang sakit, ia memperoleh kesempatan untuk beristirahat, sambil melakukan introspeksi dan berpikir untuk memperbaiki pola hidupnya setelah ia sembuh nanti.
Kedua, sakit merupakan pendidikan. Ketika seseorang sakit parah, ia akan memahami betapa mahalnya nilai kesehatan. Ia pun rela mengeluarkan segala yang ia miliki demi kesembuhan penyakitnya.
Ketika seseorang sakit, ia akan meresakan betapa nikmatnya selalu ditemani, dilayani, disediakan makanan, dan yang paling nikmat dihibur. Maka, setelah sembuh nanti, ia akan tahu apa yang harus ia lakukan ketika orang lain yang sakit.
Ketiga, sakit merupakan teguran atas kesombongan manusia. Ketika sehat, manusia terkadang bertingkah seolah-olah dialah yang paling gagah, paling berkuasa dan paling berpengaruh. Tapi ketika sakit menderanya, segagah apapun menusia, sebesar apapun manusia dan sebesar apapun pengaruhnya, ia tidak dapat beranjak dari tempat tidurnya. Ketika itu, ia tidak lebih dari seonggok tulang dan darah yang dibungkus kulit.
Keempat, sakit merupakan kesempatan untuk bertaubat dan menghapus dosa. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh yang saleh, orang sejahat apapun ketika sakit parah tak bisa berbuat apa-apa. Tangannya tidak ringan lagi. Mulutnya tak mampu mencacimaki lagi. Yang ada hanyalah penyesalan dan penyeselan.
Di samping itu, sakit yang diderita manusia merupakan kesempatan untuk memohon ampun atas dosa-dosanya. Dalam hadits diterangkan. “Tidaklah seorang muslim tertimpa keletihan, sakit, kebingungan, kesedihan dan keruwetan hidup, atau bahkan tertusuk duri, kecuali Allah menghapus dosa-dosanya. (HR. Muttafaq Alaih).
Kelima, sakit merupakan kesempatan untuk memperbaiki hubungan keluarga dan sosial. Ketika seseorang sakit, kerabat dekat akan semakin dekat, kerabat jauh akan menjadi dekat dan yang kenal akan semakin akrab. Ketika seorang anak sakit, orang tua akan semakin sayang dan perhatian terhadap anaknya. Sebaliknya, ketika orang tua sakit, sang anak akan semakin sayang dan hormat kepada orang tuanya.
Alangkah mulianya Allah yang telah meciptakan segala-galanya tanpa sia-sia. Hanya satu sakit yang Dia timpakan kepada manusaia. Akan tetapi, begitu banyak kebaikan yang dikandungnya. Kebaikan bagi si sakit yang sabar, kebaikan bagi orang tua dan keluarga yang melayani, kebaikan bagi masyarakat yang berbondong-bondong menjenguk, kebaikan bagi semua doa yang terucap.

Hermawan Soediro

FUNGSI MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DI MUKA BUMI 

ALLAH SWT menciptakan alam semesta dan menentukan fungsi-fungsi dari  setiap elemen alam ini. Mata hari punya fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah seterusnya; bintang-bintang, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya hingga makhluk yang paling kecil masing-masing memiliki fungsi dalam kehidupan. Pertanyaan kita adalah apa sebenarnya fungsi manusia dalam pentas kehidupan ini? Apakah sama fungsinya dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan? atau mempunyai fungsi yang lebih istimewa ?
Bagi seorang atheis, manusia tak lebih dari fenomena alam seperti makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia menurut mereka hadir di muka bumi secara alamiah dan akan hilang secara alamiah. Apa yang dialami manusia, seperti peperangan dan bencana alam yang menyebabkan banyak orang mati, adalah tak lebih sebagai peristiwa alam yang tidak perlu diambil pelajaran atau dihubungkan dengan kejahatan dan dosa, karena dibalik kehidupan ini tidak ada apa-apa, tidak ada Tuhan yang mengatur, tidak ada sorga atau neraka, seluruh kehidupan adalah peristiwa alam. Bagi orang atheis fungsi manusia tak berbeda dengan fungsi hewan atau tumbuh-tumbuhan, yaitu sebagai bagian dari alam.
Bagi orang yang menganut faham sekuler, manusia adalah pemilik alam yang boleh mengunakannya sesuai dengan keperluan. Manusia berhak mengatur tata kehidupan di dunia ini sesuai dengan apa yang dipandang perlu, dipandang baik dan masuk akal karena manusia memiliki akal yang bisa mengatur diri sendiri dan memutuskan apa yang dipandang perlu. Mungkin dunia dan manusia diciptakan oleh Tuhan, tetapi kehidupan dunia adalah urusan manusia, yang tidak perlu dicampuri oleh agama. Agama adalah urusan individu setiap orang yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain apa lagi oleh negara.
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar.
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Sebagai wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan diberi otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang.
Fungsi Khalifah
Pada  dasarnya,  akhlak  yang  diajarkan   Alquran   terhadap lingkungan bersumber dari fungi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan  menuntut  adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan  mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam  pandangan  akhlak Islam,  seseorang  tidak  dibenarkan mengambil  buah  sebelum  matang,  atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini  berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua  proses yang sedang  terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga  ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.” Binatang, tumbuhan,  dan benda-benda  tak  bernyawa  semuanya diciptakan  oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Karena itu dalam Alquran ditegaskan bahwa :
Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan  burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan  umat-umat (juga)  seperti manusia...”  (QS. Al-An’am  [6] : 38)
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran  bahwa  apapun  yang  berada  di  dalam  genggaman tangannya,   tidak lain   kecuali    amanat    yang    harus dipertanggungjawabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin yang berhembus di udara,  dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawabannya, manusia menyangkut pemeliharaan  dan pemanfaatannya”, demikian   kandungan  penjelasan  Nabi  Saw. tentang firman-Nya dalam Alquran
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kemikmatan (yang  kamu  peroleh).” (At-Takatsur, [102]:  8)
Dengan demikian  manusia bukan  saja  dituntut  agar tidak  alpa  dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan” (QS Al-Ahqaf [46]: 3).
Pernyataan Allah ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan  kepentingan  diri  sendiri,  kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus  berpikir  dan bersikap  demi  kemaslahatan  semua pihak.  Ia  tidak  boleh bersikap  sebagai penakluk alam  atau  berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang,  istilah  penaklukan  alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani  yang beranggapan bahwa  benda-benda  alam  merupakan dewa-dewa yang memusuhi  manusia sehingga harus ditaklukkan.
Yang menundukkan alam menurut Alquran adalah  Allah.  Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 13)
Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya  tunduk  kepada  Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat. Aquran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad Saw. bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. “Nama” memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Ini berarti bahwa manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak  boleh  tunduk  dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda  itu. Ia tidak boleh diperbudak  oleh  benda-benda  itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga  mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apapun  asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
Memanfaatkan Segala Potensi
Manusia merupakan khalifah di bumi ini, diciptakan oleh Allah dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan yang menyertainya. Kita diberi akal pikiran dan juga hawa nafsu sebagai pelengkapnya. Manusia telah diberikan berbagai fasilitas di muka bumi sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Semua yang kita perlukan telah terhampar di alam semesta, manusia hanya perlu mengelolanya saja.
Dalam kelangsungan hidup manusia terjadi berbagai perkembangan di dunia, semakin kompleksnya kebutuhan manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan terciptanya berbagai mesin-mesin dan berbagai alat komunikasi yang membantu meringankan kehidupan dan pekerjaan manusia. Didorong dengan nafsu keserakahannya, manusia hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, negara hanya berpikir untuk memajukan perekonomian dan pembangunan besar-besaran diberbagai sektor, tanpa memikirkan dampak lingkungan yang diakibatkan dari apa yang dilakukan manusia. Termasuk penduduk Indonesia perilakunya juga seperti itu, bisa dikatakan kepeduliannya sangat kecil terhadap lingkungan, ini tidak lepas dari tingkat kesadaran masyarakat dan juga desakan ekonomi yang juga menuntut masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya tanpa menghiraukan dampak lingkungan yang diakibatkan.
Kegiatan manusia di dunia ini banyak menimbulkan masalah bagi lingkungan, erosi tanah, polusi udara, banjir, tanah longsor, tanah yang hilang kesuburannya, hilangnya spesies-spesies dalam ekosistem, kekeringan, hilangnya biota-biota laut dan yang paling memprihatinkan adalah pemanasan suhu global, yaitu peristiwa pemanasan bumi yang disebabkan oleh peningkatan ERK (Efek Rumah Kaca) yang disebabkan oleh gas rumah kaca (GRK), seperti CO2, CH4, Sulfur dan lain-lain yang menyerap sinar panas atau menyebabkan terperangkapnya panas matahari (sinar infra merah). ERK (greenhouse effect) bukan berarti disebabkan oleh bangunan-bangunan yang berdinding kaca, tapi hanya merupakan istilah yang berasal dari para petani di daerah iklim sedang yang menanam tanaman di rumah kaca.
Global Warming sangat perlu diperhatikan oleh seluruh penduduk dunia, dan termasuk didalamnya penduduk Indonesia, dengan bersinergi menurunkan dan memperlambat peningkatan greenhouse effect. Langkah-langkah nyata harus dilakukan oleh masyarakat, karena sangat besarnya dampak yang diakibatkan oleh pemanasan global bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi.
Kita ketahui Indonesia merupakan negara maritim. Pemanasan global yang saat ini terjadi akan memicu naiknya suhu atmosfer bumi, dan akan menaikkan permukaaan air laut, yang juga didukung oleh pencairan es di kutub bumi. Hal ini dapat memicu tenggelamnya negara kita, didahului dengan tenggelamnya ribuan pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia. Kalau pemanasan global tidak cepat ditanggulangi dan membiarkan kegiatan-kegiatan manusia yang tidak ramah dengan lingkungan, mungkin beberapa abad lagi negara kita akan tenggelam dan berakhirlah peradaban manusia di dunia.
Seiring pertumbuhan penduduk yang cenderung tidak dapat dikendalikan dan selalu menunjukkan peningkatan. Hal ini juga terjadi di Indonesia, akan memicu naiknya kebutuhan-kebutuhan manusia seperti pangan, tempat tinggal, listrik, BBM dan banyak kebutuhan lainnya. Kesemuanya itu akan meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan-lahan yang digunakan untuk produksi pertanian, perkebunan, pertambangan, tempat tinggal, jalan-jalan dan fasilitas umum. Hal ini tidak bisa dipungkiri, dan akhirnya terjadilah penebangan pohon-pohon dan hutan untuk memenuhi kebutuhan untuk bahan baku industri tanpa menghiraukan dampak lingkungan yang akan diderita.
Ini  berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua  proses yang sedang  terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga  ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.” Binatang, tumbuhan,  dan benda-benda  tak  bernyawa  semuanya diciptakan  oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan ummat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Allah untuk manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang. ***

Hermawan Soediro

HADAPILAH MASALAH KEHIDUPAN DENGAN SENYUM 

HIDUP memang akan terasa hidup jika kita hidup penuh kebahagiaan dan senyuman. Tidak hanya sebatas senyum di bibir, tapi senyum di hati. Lalu bagaimana kalau senyum itu tiba-tiba berubah menjadi gelisah, takut, dan pahit?
Apakah kita akan lari dan terus berlari? Apakah dengan mengakhiri hidup ini  dengan meminum obat nyamuk? Jelas itu bukan solusi yang manjur dan mujarab. Karena jika kita bersikap seperti itu, bukan berarti kita akan terbebas dari masalah. Malah akhirnya masalah akan semakin menumpuk.
Kalau kita menyadari hidup yang sesungguhnya adalah hidup dengan aneka permasalahan dan beragam masalah. Kenyataan hidup memang tidak mudah, penuh kesulitan dan kepedihan. Kapan dan di mana pun masalah kehidupan akan datang. Siap atau tidak siap. Suka atau tidak suka. Masalah kehidupan akan selalu datang. Hanya saja apabila masalah kehidupan itu datang kita sering kali tidak “peka”, dan menganggap ini sebagai kelemahan diri, tidak menganggap ini sebagai teguran dari-Nya.
Sebagai manusia religius apabila masalah kehidupan datang, kita seharusnya mutlak membuka kesadaran bahwa Allah telah menegur kita. Tidak mungkin masalah kehidupan akan datang kalau tidak ada musababnya. Pasti ada yang salah dengan perilaku kita. Masalahnya, tidak semua orang “ngeh” dalam menghadapi berbagai macam masalah kehidupan. Ada reaksi negatif yang menerjemahkan masalah kehidupan sebagai siksa. Dari sini pula tidak sedikit orang yang akhirnya putus asa. Semangat hidupnya tiba-tiba menjadi redup. Hidup akhirnya menjadi pelarian tiada akhir. Pada puncaknya bunuh diri sebagai tujuan akhir.
Akan lebih bijak jikalau kita menghadapi berbagai macam masalah kehidupan yang ada, dan tidak terus lari ataupun menghindar dari ketidakyamanan hidup. Seberapa rumit dan besarnya masalah, asalkan kita mau berupanya sepenuh hati untuk membaca kelebihan dan kekurangan pada diri kita. Ada kelebihan dalam diri yang harus dimunculkan, dikumpukan, dan dipupuk hingga menjadi kekuatan. Ada kekurangan dalam diri yang harus dibuang, disingkirkan, dan dikikis semampu mungkin. Dari situlah manusia mempunyai kekuatan untuk menata hidupnya untuk lebih baik lagi. Dan ingatlah dengan janji-Nya. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah [2] : 286).*** 

Hermawan Soediro

Rabu, 15 Mei 2013

Masalah Bangsa Indonesia dan Solusinya


Pada dasarnya Indonesia adalah negara yang memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju serta berkepribadian luhur. Disamping kekayaan alam yang melimpah, Indonesia juga memiliki sumber daya manusia yang seharusnya mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Namun hingga berakhirnya tahun 2012 Indonesia masih belum menunjukkan kemajuan yang diinginkan. Hingga saat ini masih banyak kasus-kasus yang memalukan dan tidak perlu terjadi justru semakin meningkat, mulai dari kasus kalangan rakyat biasa sampai tokoh-tokoh negara ini. Konflik yang terjadi beragam mulai dari konflik antar individu hingga konflik antar kelompok atau lembaga yang seharusnya dapat menjadi panutan masyarakat.
Penyebab utama masalah-masalah yang timbul di masyarakat adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya memahami pandidikan karakter. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, pekataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan.
Pendidikan karakter di Indonesia sudah diberikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Namun kebanyakan masyarakat tidak benar-benar peduli pada pandidikan karakter yang diajarkan. Mereka lebih mementingkan nilai yang baik atau lulus dari sebuah lembaga pendidikan dengan prestasi yang membanggakan. Sehingga mereka tidak peduli dengan cara apa pencapaian itu diperoleh. Rasa malu akan lebih dirasakan jika mendapat nilai jelek atau tidak lulus, namun tidak begitu menjadi masalah ketika ketahuan mencontek selagi mendapat nilai bagus dan lulus.
Kasus hukum yang sedang gencar-gencarnya diberantas dan tidak hilang-hilang adalah korupsi. Di Indonesia, tindak pidana korupsi seakan menjadi hal yang biasa untuk dilakukan banyak lapisan masyarakat dan terutama dikalangan pejabat. Penyebab terjadinya korupsi di Indonesia adalah sistem penyelenggaraan negara yang keliru, kompensasi PNS yang rendah, pejabat yang serakah, law enforcement tidak berjalan, hukuman yang ringan terhadap koruptor atau tidak adanya penegakan hukum yang tegas, pengawasan yang tidak efektif, tidak ada keteladanan pemimpin, dan budaya masyarakat yang kondusif untuk KKN.
Selain korupsi, masalah yang menghawatirkan adalah ‘budaya kekerasan’. Mungkin bisa disebut demikian karena belakangan ini kebiasaan penyelesaian masalah yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan tampaknya semakin menguat dan menjadi budaya. Kekerasan dalam bentuk perbuatan anarkhis atau premanisme di berbagai wilayah di Indonesia telah menjadi warta hampir setiap hari. Tanpa perlu menyodorkan kembali data dan informasi yang sudah seringkali kita dapatkan melalui berbagai media massa, catatan yang bernuansa kekerasan itu tidak sulit ditemukan. Kalau keadaan ini terus-menerus terjadi dan berkembang, dikhawatirkan kerugian material dan nonmaterial kian banyak, termasuk kerugian psikhologis, seperti ketakutan dan trauma masyarakat akan semakin parah.
Penyebab tindak kekerasan yang pertama adalah masalah penegakan hukum yang masih lemah. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan adil, maka kekecewaan akan tumbuh di dalam masyarakat.
Faktor kedua adalah yang berkenaan dengan kesenjangan ekonomi. Masalah kesenjangan ekonomi terjadi di mana-mana di berbagai belahan dunia. Hanya yang berbeda adalah tingkat kesenjangannya. Semakin besar perbedaan pendapatan anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, semakin potensial untuk mengoyak kestabilan dan keamanan wilayah atau daerah setempat. Kesenjangan ekonomi dapat dengan pasti menimbulkan kecemburuan sosial.
Faktor ketiga adalah tidak adanya keteladanan dari sang pemimpin. Artinya, pemimpin mulai tidak satya wacana: apa yang dilakukan berbeda jauh dengan apa yang dikatakan. Pemimpin melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, mementingkan diri sendiri, dan keluar dari rel kewenangannya.
Faktor penyebab berikutnya adalah karena ada provokasi dari pihak-pihak yang berkepentingan menjadikan bibit-bibit permasalahan yang ada agar menjadi besar. Di balik upaya-upaya mereka itu tentu ada maksud yang tersembunyi, berkaitan dengan politik, seperti dalam rangka merebut kekuasaan dengan cara merusak image orang yang sedang berkuasa atau lawan politiknya, dan sebagainya. Bagi sebagian masyarakat yang kondisinya sudah ‘labil’ karena dihimpit oleh berbagai persoalan hidup, bukanlah tidak mungkin mereka dengan mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang diperalat.
Selain itu kekerasan juga sering terjadi di kalangan remaja atau pemuda akibat pengaruh minuman keras maupun penggunaan narkoba. Hal ini yang paling menghawatirkan karena pemuda berarti penerus bangsa yang nantinya akan memegang peranan terhadap negara.
Masalah korupsi dan budaya kekerasan hanya contoh dari masalah yang dimiliki bangsa ini. Banyak masalah-masalah lain yang juga menjadi gambaran keterpurukan bangsa seperti masalah pertahanan negara, perekonomian, bahkan perebutan kekuasaan. Yang paling penting adalah mencari solusi dari masalah tersebut sehingga fokus bangsa bukan lagi menyelesaikan berbagai masalah dalam negeri tetapi lebih fokus pada usaha untuk memajukan bangsa.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut bisa dimulai dari skala kecil hingga yang paling besar, diantaranya:
1.      Menanamkan rasa cinta tanah air dan bela negara pada setiap individu.
2.      Instrospeksi diri dan tidak saling menyalahkan antar pihak dalam negara ini.
3.      Menanamkan rasa ‘tahu malu’ pada setiap orang sehingga ada tidaknya pengawasan dan ancaman hukum tidak menjadi kendala.
4.      Penegakan hukum (semua pelaku kejahatan dihukum sesuai tingkat kesalahannya, bukan sesuai tingkat ekonomi dan kedudukannya).
5.      Pemerintah hendaknya memberikan apresiasi kepada masyarakat yang telah ikut serta terlibat dalam penegakan hukum (memberikan perlindungan pada saksi dan korban kejahatan).
6.      Membangun kerjasama antara pihak pemerintah dan rakyat (rakyat seharusnya mematuhi peraturan dan keputusan pemerintah, begitu juga sebaliknya pemerintah hendaknya mendengarkan keinginan rakyat).
7.      Mengimbangi pendidikan kognitif dengan pendidikan karakter.
8.      Memberikan pengarahan pada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi.
9.      Memberikan kesibukan pada generasi muda dengan kegiatan yang bermanfaat sehingga terhindar dari hal-hal yang bersifat negatif.
10.  Menciptakan lingkungan yang kondusif baik untuk kegiatan pendidikan, perekonomian serta politik.
11.  Perlu secara berkesimbungan memperkecil kesenjangan ekonomi antar wilayah, antar kelompok, dan antar anggota masyarakat.
12.  Membangun upaya pemolisian masyarakat (community policing) dan penguatan peran aktif masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.
13.  Peningkatan penegakan undang-undang dan peraturan serta mempercepat proses penindakan pelanggaran hukum.
14.  Para pemimpin hendaknya dapat menjadi panutan bagi masyarakat sehingga rasa percaya masyarakat tidak hilang.
15.  Mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah sehingga tidak terjadi tindak kekerasan.
16.  Semua persaingan dilakukan secara sehat baik persaingan akademik, ekonomi maupun  politik.

Kasta Kehidupan Sosial di Negeri Pancasila

Indonesia adalah negara dengan ideologi Pancasila. Nilai-nilai Pancasila jika ditelaah, sejatinya mengandung humanism, egalitarianism serta berkeadilan sosial. Keadilan sosial termaktub dalam nilai sila ke lima. Yang menjadi pertanyaan ialah, sudah relevankah keadilan sosial itu di negara ini?
PANCASILA adalah dasar Negara Indonesia sekaligus cita-cita luhur bangsa serta karakteristik bangsa Indonesia. Pancasila merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang sebenarnya telah tumbuh dan tertanam dalam bumi nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka jadi bukan hal yang mudah dan tergantikan untuk mengubah atau menggeser kedudukan Pancasila di Indonesia.

Pancasila oleh the founding fathers merumuskan dan meletakkannya sebagai dasar Negara, merupakan hal yang sangat tepat dan ampuh untuk meredam segala pluralitas  negara ini. Hanya saja, tergantung bagaimana kita sebagai generasi penerus yang ada sekarang baik berdasi birokrat dan bukan birokrat untuk mengayomi dan melaksanakannya.

Indonesai kini telah berusia 68 tahun dan 18 tahun reformasi. Masalah yang dihadapi bangsa ini sejatinya ialah semakin jauhnya realita kehidupan bangsa ini dari idealnya oleh pancasila. Pemuliaan pancasila hanya dalam bentuk retorika dan kata-kata saja namun dalam perilaku dan tindak tanduk sama sekalijauh dan menyimpang dari pancasila.

Dari sekian masalah yang membludak dan subur di negara ini, kesenjangan kehidupan sosial dalam masyarakat yang mulai tumbuh dalam dinamika kehidupan sosial. Dalam kehidupan rakyat Indonesia telah terbentuk sebuah kasta bayangan yang memisahkan secara tidak langsung masyarakat dalam berbagai  tingkatan kemiskinan dan kekayaan.

Dalam kekinian telah tercipta kasta super kaya, kaya, miskin dan super miskin dalam kuantitas dan volume yang luar biasa. Porsi yang menempati kasta ini sangat memprihatinkan, dimana kasta super kaya dan kaya umumnya didominasi oleh konglomerat dan kaum berjuis. Sedangkan kasta yang miskin dan super miskin dihuni oleh masyarakat biasa dan dalam jumlah lebih dari jumlah seluruh rakyat Indonesia.

Bahkan pemerintah juga hadir sebagai donator kasta ini. Bagaimana tidak di satu sisi pemerintah saat ini banyak menggunakan fasilitas negara mobil mewah, gaji besar dan berbagai tunjangan yang mereka dapatkan  bahkan di tengah–tengah kehidupan rakyat yang serba kekurangan mereka asyik dan candu untuk menuntut dan meminta kenaikan gaji. Bahkan presiden kita sering mengeluh karena sudah lama tidak naik gaji. Beginikah negara keadilan sosial? Di mana rasa keadilan itu?

Disparitas atau kastanisasi ini terbentuk secara sendirinya seiring dengan jauhnya negara ini dari nilai-nilai pancasila. Ironisnya ialah kasta-kasta yang terbentuk ini akibat kesenjangan–kesenjangan ini dianggap begitu trivial oleh pemangku negara ini dan menganggap bukan bagian dari masalah yang harus diselesaikan. Padahal jika kita mau jujur terhadap diri sendiri dan pancasila, hal demikian merupakan sangat bertentangan dengan sila kelima yang telah kita amini sebagai patron negara ini.

Pancasila dalam sila mengatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilam hendaknya tidak ditafsirkan dalam arti sempit yaitu hanya dalam hukum saja namun perlu diinterpretasikan secara luas yaitu keadilan yang menekankan persamaan, pemerataan yang mencakup seluruh sendi dan urat nadi kehidupan rakyat.

In adequacy pemerintah
Salah satu fungsi pemerintah pada preambule UUD 1945 ialah meyenjahterakan seluruh rakyat Indonesia dengan berdasarkan pada pancasila. Afirmasinya ialah menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia bukan pada golongan atau sekolompok orang seperti yang telah lahir sekarang ini.
Kasta–kasta yang terbentuk sekarang berakibat pada masyarakat luas umumnya pada kasta miskin dan super miskin. Kasta ini belum sepenuhnya menerima hak dan posisi mereka di negara ini sehingga tidak salah jika hasil kekayaan alam bumi pertiwi ini tidak singgah dalam dapur mereka melainkan pada pejabat dan para berdasi.

Bukan hanya itu, dalam kesehatan di negara ini juga terbentuk jargon bahwa orang miskin dilarang sakit karena tidak ada uang untuk berobat serta dilarang memperoleh pendidikan karena biaya mahal.

Dengan realita ini sesungguhnya pemerintah tidak mampu atau cacat (inadequacy) dalam menjalankan fungsi dan kedudukan di negara ini. Sejatinya pemerintah sebagaimana dalam preambule UUD 1945 menyejahterakan kehidupan rakyat, bukan menyejangkan kehidupan rakyat. Jika kasta ini terkesan dianggap trivial oleh pemerintah  dan membiarkanya sehingga embedded di negara ini, lama–lama kelamaan akan menciptakan disintegrasi dalam satu kesatuan Negara Indonesia.

Pemerintah dalam hal ini presiden seyogyanya mengamini dan melakukan apa yang pancasila tangguhkan dalam tanggung jawab Negara. Sebab sebagaimana diungkapkan oleh Mahfud MD (mantan  Ketua MK), sesungguhnya segala permasalahan Indonesia ada jawabnya dalam pancasila.

Negara ini butuh pemimpin yang pancasilais dalam kerangka berpikir dan berbuat bukan pemimpin yang hanya pandai tersenyum tapi tidak menciptakan senyum itu dalam diri masyarakat. Pemimpin sejatinya solusi dari masalah bukan bagian dari masalah yang harus diselesaikan.

Menjemput Kematian dengan Husnul Khatimah 


Jika kita berbicara tentang husnul khatimah, berarti kita sedang berbicara tentang kehidupan. Dan salah satu syarat kita dapat mencapai husnul khatimah adalah dengan memahami apa sesungguhnya hakikat kehidupan ini.
kematian Menjemput Kematian dengan Husnul Khatimah (I)
Dalam memahami kehidupan, manusia terbagi menjadi dua golongan. Golongan yang pertama adalah orang yang memahami bahwa hidup ini sesungguhnya adalah rihlah ruhaniah menuju Allah Rabb semesta alam. Golongan ini memahami bahwa diujung perjalanan ini Allah telah menyiapkan seindah-indah tempat kembali. Sebagaimana seorang yang berpenghasilan 60 juta rupiah sebulan, ketika dia ditawari suatu pekerjaan dengan penghasilan 40 juta rupiah, tentu dia tidak akan tertarik. Begitu pula orang-orang yang termasuk golongan ini, mereka tidak akan mudah terpesona dengan kehidupan duniawi karena dia meyakini bahwa kenikmatan yang menantinya di surga nanti jauh lebih baik daripada apa yang dia temukan di dunia ini.
Golongan yang kedua adalah orang-orang yang memahami kehidupan ini sebagai satu-satunya kesempatan untuk bersenang-senang. Mereka memahami bahwa setelah kehidupan ini tidak ada kehidupan lain dan mereka tidak akan mempertanggung-jawabkan segala perbuatan yang telah mereka lakukan. Dan pemahaman seperti ini tercermin dari segala tindakan serta pilihan mereka dalam menjalani kehidupan sebagaimana Ralulullah bersabda:
“Seluruh umatku akan masuk jannah, kecuali yang enggan.” Maka dikatakan: “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang menaatiku maka dia pasti masuk jannah, sedangkan barangsiapa yang mendurhakaiku maka sungguh dia telah enggan (masuk jannah).” (Hadits Riwayat Al-Bukhari)
Kedua jenis manusia ini adalah pilihan kita. Kita bebas memilih golongan manusia yang mana yang ingin kita ikuti. Dan pilihan ini bukan diberikan kepada kita kelak saat kita sedang mengalami sakaratul maut melainkan saat ini juga. Maka hendaklah kita merenungkan firman Allah dalam kitabnya yang mulia:
Maka ke manakah kamu akan pergi? (At-Takwir: 26)
Pertanyaan ini adalah pertanyaan dari Allah kepada kita hamba-Nya dan jawaban atas pertanyaan ini adalah sebuah langkah awal dari perjalanan menjemput kematian dengan husnul khatimah. Dan tidak ada jawaban yang paling tepat bagi pertanyaan ini kecuali dengan firman Allah:
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’aam: 162)
Jika seseorang telah sungguh-sungguh untuk selalu menghadapkan wajahnya (tawajjuh) kepada Allah, maka dia telah merancang kehidupannya dengan akhir yang baik. Dan orang-orang seperti ini tidak akan pernah memiliki rasa kecewa. Dia tidak akan memedulikan segala peristiwa yang menimpa dirinya tetapi yang dia pedulikan adalah bagaimana dia menyikapi peristiwa tersebut. Karena dia memahami bahwa kewajibannya hanyalah berusaha untuk mendapatkan yang terbaik dan segala hasil dari usahanya dia serahkan kepada Allah semata. Dia memahami bahwa hasil yang diberikan Allah hanyalah sebuah sarana untuk dapat meraih ridho-
Nya.
Lantas, bagaimana agar kita dapat selalu tawajjuh kepada-Nya? Ustadz Syatori Abdur Rauf menyebutkan dalam suatu ceramahnya bahwa salah satu cara untuk dapat selalu tawajjuh kepada Allah adalah dengan mentafakkuri datangnya maut (dzikrul maut). Begitu banyak hal-hal yang dapat kita tafakkuri dari datangnya maut ini, yaitu:
1. Merenungkan kematian yang datang secara tiba-tiba
Sebagai seorang mukmin, hendaknya kita merasa khawatir dengan kedatangan maut yang secara tiba-tiba. Bisa jadi seseorang yang masih muda dan sehat dicabut nyawanya lebih dulu dari orang-orang yang sakit-sakitan dan lebih tua darinya. Dan bisa jadi seseorang
dicabut nyawanya ketika sedang dalam keadaan lupa dan lalai. Betapa banyak orang yang meninggal dalam keadaaan sedang melakukan maksiat ataupun melakukan sesuatu yang sia- sia. Maka seyogianya dengan mentafakkuri kematian yang datangnya tiba-tiba ini membuat kita terhindar dari keadaan lupa dan lalai dari segala perintah dan larangan-Nya.
2. Merenungkan pedihnya sakaratul maut
Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda bahwa pedihnya sakaratul maut adalah seperti kambing yang dikuliti hidup-hidup. begitu perihnya hingga Rasulullah tidak tega mengatakan “seperti manusia dikuliti hidup-hidup” dan menggunakan kambing sebagai
perumpamaan pedihnya sakaratul maut tersebut. Dalam hadits yang lain beliau menyebutkan bahwa pedihnya sakaratul maut seperti seseorang yang seluruh tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung rambut dililit kawat berduri yang durinya menancap kedalam daging. Kemudian kawat tersebut di tarik ujungnya secara perlahan-lahan. Sungguh kepedihan yang sangat luar biasa. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mempersiapkan diri kita dan memohon untuk dimudahkan dalam menghadapinya
3. Merenungkan gelapnya alam kubur
Seandainya malam ini Perusahaan Listrik Negara mengumumkan besok pagi listrik akan dipadamkan selama tiga hari penuh karena ada perbaikan, itu sudah cukup membuat kita panik. Waktu terbatas untuk persiapan, lilin jadi rebutan, ember dan bak airpun dipenuhi.
Lalu pernahkah kita berpikir tentang gelapnya alam kubur?
4. Merenungkan dahsyatnya prahara hari pembalasan
Kedahsyatan peristiwa-peristiwa pada hari kiamat betul-betul tiada terkira. Dari bangun dari kubur, dikumpulkan di padang mahsyar, semuanya adalah peristiwa yang sangat luar biasa. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa di padang mahsyar kelak matahari akan didekatkan hingga 1,6 kilometer diatas kepala. Kita bisa bayangkan matahari yang jaraknya saat ini 150 juta kilometer yang sudah mampu membuat kita kepanasan, didekatkan oleh Allah hingga 1,6 kilometer di atas kepala. Orang-orang yang tidak menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya ketika dia hidup di dunia boleh jadi dia akan merasakan dahsyatnya langit padang mahsyar. Belum lagi setelah urusan di padang mahsyar ini selesai, kita semua akan di giring ke pinggir sebuah jurang. Dalamnya jurang ini menurut sabda Rasulullah adalah seperti kita menjatuhkan sebuah batu, dan batu ini baru sampai ke dasarnya setelah 70 tahun perjalanan. Dan isi dari jurang ini adalah api yang bergemuruh yang panasnya sudah bisa dirasakan dalam jarak 500 tahun perjalanan. Dalam hadits yang panjang tentang mimpi dan syafa’at, Rasulullah bersabda,
Dan diletakkan As-Shiroth (jembatan) di atas neraka jahannam, maka aku dan umatku lah yang akan menyebranginya. Tidak ada orang yang berani bekata kecuali para nabi. Dan doa para nabi adalah Alahumma sallim-sallim (ya Allah, selamatkan, selamatkan), (HR. Bukhori dan Kutubus Sittah)
Demikianlah sedikit uraian penulis tentang langkah awal yang harus kita ambil untuk dapat menggapai husnul khatimah. Insya Allaah pada artikel berikutnya, penulis akan memaparkan amalan-amalan yang menakjubkan yang dapat menjadi bekal kita untuk menggapai husnul khatimah tersebut.
Wallaahu a’lam bis shawwab

Kematian pasti menjemputmu


Kematian Orang Beriman
Keyakinan orang beriman akan adanya kehidupan sesudah kematian menyebabkan dirinya selalu berada dalam mode standby menghadapi kematian. Ia memandang kematian sebagai suatu keniscayaan. Tidak seperti orang kafir yang selalu saja berusaha untuk menghindari kematian. Orang beriman sangat dipengaruhi oleh pesan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang bersabda:

“Banyak-banyaklah mengingat penghapus kenikmatan, yakni kematian.” (HR Tirmidzi 2229)

Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata: “Bila manusia meninggal dunia, maka pada saat itulah ia bangun dari tidurnya.” Subhanallah...! Berarti beliau ingin mengatakan bahwa manusia yang menemui ajalnya adalah manusia yang justru baru mulai menjalani kehidupan sebenarnya, sedangkan kita yang masih hidup di dunia ini justru masih ”belum bangun”. Sungguh, ucapan ini sangat sejalan dengan firman Allah ta’aala:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS Al-Ankabut 64)

Pantas bilamana Ali radhiyallahu ’anhu pula yang berkata: “Dunia pergi menjauh dan akhirat datang mendekat. Karena itu, jadilah kalian anak-anak akhirat, jangan menjadi budak-budak dunia. Sekarang waktunya beramal, dan tidak ada penghisaban. Sedangkan besok waktunya
penghisaban, tidak ada amal.”

Bagaimanakah kematian orang beriman? Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

“Orang beriman meninggal dengan kening penuh keringat.” (HR Ahmad 21886)

Penulis produktif Aidh Al-Qarni menulis: ”Saya menyeru setiap orang tua agar mengingat kematian. Sadar bahwa dirinya sudah mendekat maut serta tidak mungkin bisa lari darinya. Jadi, siapkan diri untuk menemui Allah. Karena itu, sudah sepantasnya ia menjauhi akhir kehidupan yang jelek dan memperbanyak amal kebaikan sehingga dapat berjumpa dengan Allah ta’aala dalam keadaan diridhai.”

Ambillah keteladanan dari kematian Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu. Ia ditikam oleh Abu Lu’luah saat sedang mengimami sholat subuh. Umarpun jatuh tersungkur bersimbah darah. Dalam keadaan seperti itu ia tidak ingat isteri, anak, harta, keluarga, sanak saudara atau kekuasaannya. Yang ia ingat hanyalah ”Laa ilaha illallah Muhammad rasulullah, hasbiyallah wa ni’mal wakil.” Setelah itu ia bertanya kepada sahabatnya: ”Siapakah yang telah menikamku?”
”Kau ditikam oleh Abu Lu’luah Al-Majusi.”
Umar radhiyallahu ’anhu lalu berkata: ”Segala puji bagi Allah ta’aala yang membuatku terbunuh di tangan orang yang tidak pernah bersujud kepada-Nya walau hanya sekali.” Umar-pun mati syahid.

Ketika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menghadapi sakaratul maut beliau mengambil secarik kain dan menaruhnya di wajah beliau karena parahnya kondisi yang beliau hadapi. Lalu beliau berdoa:

“Laa ilaha illallah… Laa ilaha illallah… Laa ilaha illalla. Sungguh kematian itu sangat pedih. Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakratul maut. Ya Allah, ringankanlah sakratul maut itu buatku.” (HR Bukhary-Muslim)
Aisyah radhiyallahu ’anha menuturkan: “Demi Allah, beliau mencelupkan kain itu ke air lalu meletakkannya di atas wajah beliau seraya berdoa:

”Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakratul maut.”

Saudaraku, marilah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja. Kematian yang sungguh mengandung kepedihan bagi setiap manusia yang mengalaminya. Hingga kekasih Allah ta’aala saja, yakni Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam berdoa agar Allah ta’aala ringankan bagi dirinya sakaratul maut. Tidak ada seorangpun yang tidak bakal merasakan kepedihan sakratul maut.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS Ali Imran 185)

Marilah saudaraku, kita mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan segera bertaubat memohon ampunan dan rahmat Allah ta’aala sebelum terlambat. Sebab begitulah kematian orang kafir. Suatu bentuk kematian yang diwarnai penyesalan yang sungguh terlambat.

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun 99-100)

Seandainya kamu semua berada di rumahmu, pastilah orang-orang yang telah ditetapkan untuk mati keluar ke tempat mereka terbunuh (QS Ali Imran 3; 154)
Kematian itu milik semua makhluk Allah, manusia, hewan, tumbuhan termasuk bangsa malaikat dan setan semuanya akan merasakan apa yang namanya kematian.
Kematian adalah sebuah tahapan dari kehidupan yang kejadiannya bersifat pasti. Ia akan datang menjemput tanpa dapat dihindari. Kehadirannya sering menimbulkan ketakutan pada awalnya dan senantiasa melahirkan kesedihan pada akhirnya.

Bahkan, kesedihan yang berkepanjangan dan berlarut-larut. Kematianlah yang membuat seluruh kenikmatan dan kebahagiaan terputuskan yang kemudian diganti oleh penderitaan dalam kehidupan dunia.

Kematian pula yang membuat hubungan antara orang-orang yang dicintai dan yang mencintai terpisahkan. Karena kematian, seseorang harus meninggalkan harta benda yang begitu dicintai, begitu dibanggakan dan begitu diagungkan dan sejumlah harta benda yang diklaim adalah miliknya sendiri.

Alhaakumut takaatsuru hattaa zurtumul maqabir; bermegah-megahan telah melalaikan kalian hingga kalian sampai di alam kubur ( Q.S. At-Takatsur, 102:1-2)

Silaturahim: Menyiram Pohon Persaudaraan

 Persaudaraan kadang seperti tingkah dahan-dahan yang ditiup angin. Walau satu pohon, tak selamanya gerak dahan seiring sejalan. Adakalanya seirama, tapi tak jarang berbenturan. Tergantung mana yang lebih kuat: keserasian batang dahan atau tiupan angin yang tak beraturan.
Indahnya persaudaraan. Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat.
Namun, pernik-pernik lapangan kehidupan nyata kadang tak seindah idealita. Ada saja khilaf, salah paham, friksi, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. Ketidakharmonisan pun terjadi. Kebencian terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan.
Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya, ada kekecewaan dan kebencian. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam.
Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya bisa horisontal atau ke samping, bisa juga vertikal atau atas bawah. Para orang tua yang berseteru, anak cucu pun bisa ikut kebagian.
Rasulullah saw. pernah mengingatkan itu dalam sabdanya, “Cinta bisa berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian.” (HR. Al-Bukhari)
Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti.
Kalau berhenti sampai di situ, bisa jadi, perdamaian cuma datang dari satu pihak. Karena belum tentu, waktu bisa menjadi solusi buat pihak lain. Kalau pun bisa, sulit memastikan bertemunya dua kesadaran dalam rentang waktu yang tidak begitu jauh.
Perlu ada cara lain agar kesadaran dan perdamaian bertemu dalam waktu yang sama. Dan silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin.
Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih)
Menarik memang tawaran Rasul tentang manfaat silaturahim: luasnya rezeki dan umur yang panjang. Dua hal tersebut merupakan simbol kenikmatan hidup yang begitu besar. Bumi menjadi begitu luas, damai, dan nyaman. Sehingga, kehidupan pun menjadi sangat berarti.
Masalahnya, tidak mudah menggerakkan hati untuk berkunjung ke orang yang pernah dibenci. Mungkin masih terngiang seperti apa sakitnya hati. Begitu berat beban batin. Berat. Terlebih ketika setan terus mengipas-ngipas bara luka lama. Saat itulah, setan memposisikan diri seseorang sebagai pihak yang patut dikunjungi. Bukan yang mengunjungi. Kalau saja bukan karena rahmat Allah, seorang mukmin bisa lupa kalau ‘izzah bukan untuk sesama mukmin. Tapi, buat orang kafir.
Firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap adzillah (lemah lembut) terhadap orang mukmin, yang bersikap ‘izzah (keras) terhadap orang-orang kafir….” (QS. 5: 54)
Setidaknya, ada tiga persiapan yang mesti diambil agar silaturahim tidak terasa berat. Pertama, murnikan keinginan bersilaturahim hanya karena Allah. Ikatan hati yang terjalin antara dua mukmin adalah karena anugerah Allah. Ikatan inilah yang menembus beberapa hati yang berbeda warna menjadi satu cita dan rasa. Sebuah ikatan yang sangat mahal.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka….” (QS. Al-Anfal: 63)
Jangan pernah selipkan maksud-maksud lain dalam silaturahim. Karena di situlah celah setan memunculkan kekecewaan. Ketika maksud itu tak tercapai, silaturahim cuma sekadar basa-basi. Silaturahim tinggallah silaturahim, tapi hawa permusuhan tetap ada.
Kedua, cintai saudara seiman sebagaimana mencintai diri sendiri. Inilah salah satu cara mengikis ego diri yang efektif. Ketika tekad ini terwujud, yang terpikir adalah bagaimana agar bisa memberi. Bukan meminta. Apalagi menuntut.
Akan muncul dalam nurani yang paling dalam bagaimana bisa memberi sesuatu kepada saudara seiman. Termasuk, memberi maaf. Meminta maaf memang sulit. Dan, akan lebih sulit lagi memberi maaf.
Hal inilah yang paling sulit dalam tingkat keimanan seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”
Ketiga, bayangkan kebaikan-kebaikan saudara yang akan dikunjungi, bukan sebaliknya. Kerap kebencian bisa menihilkan kebaikan orang lain. Timbangan diri menjadi tidak adil. Kebaikan yang bertahun-tahun bisa terhapus dengan kesalahan semenit.
Maha Benar Allah dalam firmanNya, “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….” (QS. 5: 8 )
Tak ada yang pernah dirugikan dari silaturahim. Kecuali, tiupan angin ego yang selalu ingin dimanjakan. Karena, ulahnya tak lagi membuat tangkai-tangkai dahan berbenturan.