Jumat, 30 Agustus 2013

Manfaat dan Bahaya Kemarahan PDF Print E-mail
Written by Pastor   
Thursday, 07 March 2013 18:30
Manfaat dan Bahaya Kemarahan
Apakah Anda pernah benar-benar marah?
Maksud saya, kemarahan yang membuat wajah Anda merah, mata Anda membelalak, mulut Anda berbusa? Bagus, itu artinya normal!
Kemarahan adalah perasaan kuat yang ditanamkan Tuhan ke dalam diri kita yang digunakan untuk tujuan yang membangun atau menghancurkan.
Apakah yang membuat Anda marah?
Anda diperlakukan dengan tidak benar?
Atau seseorang memanfaatkan atau merugikan Anda?
Atau seseorang yang telah memfitnah sehingga Anda gagal mendapat promosi atau kenaikan pangkat?
Atau seorang sahabat mengkhianati Anda?
Saat Anda benar-benar marah, apakah Anda berdosa?
Apakah semua kemarahan adalah dosa?
Apakah kemarahan bisa menolong Anda?
Alkitab berkata, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa.” [Efesus 4:26].
Kemarahan tidak menjadi masalah jika alasannya ilahi.
Jadi pertanyaannya menjadi: apakah motivasi kemarahan itu?
Kemarahan Ilahi:
Saat Yesus menyucikan Bait Allah, Dia adalah potret dari kemarahan yang benar [Matius 21:12-13].
Yesus marah terhadap mereka yang telah menipu dan mencari keuntungan pribadi dari orang-orang yang tulus hati hendak beribadah. Yesus mengusir mereka semua dan membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati.
Apakah pesan dari pemandangan ini?
Apakah Yesus menyimpang dari karakter-Nya yang lemah lembut dan penuh kasih?
Apakah Yesus sudah kehilangan penguasaan diri?
Apakah Yesus berdosa?
Jawabannya adalah TIDAK.
Pemandangan di Bait Allah ini memiliki 2 [dua] pesan bagi kita:
Pertama, Kemarahan adalah bentuk ungkapan kasih yang paling jelas apabila alasan kemarahan itu adalah benar.

Yesus yang penuh kasih dan belas kasihan menunjukkan kemarahan-Nya. Sambil berkata kepada mereka: ”Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” [Matius 21:13]
Ada saatnya untuk meninggalkan ketenangan kita yang menyenangkan dan mengizinkan kemarahan yang benar mendorong kita untuk bertindak secara ilahi.
Kita telah menyaksikan Iblis menelan anak-anak kita dengan narkoba, seks bebas, pemberontakan, menghancurkan pernikahan-pernikahan kita, serta merusak keuangan dan kesehatan kita tanpa protes.
Kita harus menumpahkan kemarahan yang benar seperti yang diungkapkan dalam perkataan Raja Daud:n”Allah bangkit, maka terseraklah musuh-musuh-Nya.” [Mazmur 68:2].
Tuhan tidak menciptakan kita untuk menjadi pecundang bagi musuh kita. Dia menciptakan kita untuk menjadi pemenang bahkan lebih dari pemenang. Kita adalah duta besar Yesus Kristus di bumi.
Suatu hari Abraham Lincoln berdiri di dermaga New Orleans, ia menyaksikan seorang wanita berkulit hitam dijual sebagai budak, dengan meninggalkan suami dan putranya. Lincoln meremas tangannya hingga berdarah. Sementara ia berpikir, itu salah. Dan jika aku mendapat kesempatan, aku akan menghentikannya.
Kemarahan hatinya meledak menjadi sebuah tekad yang kuat untuk menghentikan perbudakan itu. Ketetapan hatinya yang membuatnya tabah menghadapi kegagalan demi kegagalan dalam hidupnya. Namun pada akhirnya, ia menjadi Presiden Amerika Serikat.
Abraham Lincoln telah mencapai impiannya. Sekarang ia memiliki kekuatan untuk mengakhiri perbudakan. Maka saat ia menjadi Presiden Amerika Serikat, ia menandatangani Proklamasi Persamaan Hak, yang mengakhiri perbudakan. Itulah bentuk kemarahan yang benar.
Kedua, Pemandangan di Bait Allah di sini menyatakan bahwa kemarahan itu bukan perasaan berdosa.
Sama halnya tidak ada raket yang buruk yang ada hanyalah pemain yang buruk. Tidak ada perasaan yang buruk, yang ada hanyalah orang yang buruk. Semua perasaan diberikan oleh Tuhan.
Setiap bayi lahir dengan emosi kemarahan. Jika Anda lalai memberinya makan, lihatlah betapa marahnya ia. Tetapi, saat bayi itu berusia 30 tahun, ia seharusnya belajar untuk mengekang kemarahannya jika makan malam tidak segera disiapkan.
Kemarahan yang tidak terkendali:
Saya pernah menyaksikan seseorang membanting raket tennis sampai hancur karena pukulannya melenceng keluar dari garis lapangan. Apakah itu kesalahan dari raket tennisnya? Tentu saja tidak. Bisakah kemarahan yang tidak terkendali itu mengarahkan kembali pukulan tersebut kembali sehingga bolanya itu jatuh ke dalam lapangan? Tentu saja tidak bisa.
Saya mempelajari ada beberapa akibat kemarahan yang tidak terkendali:
Pertama, kemarahan yang tidak terkendali dapat menganggu kesehatan dan membunuh diri kita sendiri

Tahukah Anda mengapa Beethoven menjadi tuli? Karena kemarahannya yang tidak terkendali yang menyebabkan ketuliannya. Harry, sahabat saya bercerita bahwa seorang temannya mendadak meninggal dunia setelah menumpahkan kemarahannya yang tidak terkendali terhadap istrinya.
Para dokter dewasa ini memberitahukan kita bahwa kemarahan yang tidak terkendali dapat memproduksi racun-racun kimiawi di dalam tubuh kita yang dapat menyebabkan penyakit-penyakit seperti: kanker dan jantung.
Orang-orang yang mudah menumpahkan kemarahannya cenderung beresiko mengalami stroke lebih besar daripada orang-orang yang hidup dalam damai Tuhan di hati dan pikirannya.
Orang-orang yang menyimpan kemarahan sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang meracuni kehidupan mereka sendiri. Jika kita terus memendam kemarahan, kita tidak sedang menyakiti orang lain, kita tidak sedang menyakiti perusahaan atau boss yang memperlakukan kita tidak adil, kita tidak sedang menyakiti Tuhan. Kita hanya menyakiti diri kita sendiri.
Saat Anda mengizinkan diri Anda hidup dalam kemarahan yang tidak terkendali, Anda sedang berdosa. Anda juga nyatanya sedang membunuh diri Anda sendiri.
Kedua, Kemarahan yang tidak terkendali dapat menghancurkan harapan dan impian Anda.

Ketidakmampuan Musa untuk mengendalikan kemarahannya pertama kali muncul saat ia membunuh orang Mesir yang sedang memukuli seorang budak Ibrani.
Kemarahan ini muncul kembali saat Musa turun dari Gunung Sinai dan menyaksikan orang Israel sedang menyembah patung lembu emas. Dalam kemarahan yang tidak terkendali, ia melemparkan loh-loh kesepuluh perintah Allah dan menghancurkan sampai berkeping-keping.
Dalam masing-masing kejadian ini kemarahan Musa tersebut benar seperti kemarahan Yesus di Bait Allah. Tetapi, Musa menanggapi dengan kemarahan yang tidak terkendali.
Kemarahan yang tidak terkendali jenis ini muncul ketiga kalinya dalam Bilangan 20, saat Allah memerintahkan Musa untuk “berbicara kepada Bukit Batu” sehingga air yang sangat dibutuhkan umat Israel akan keluar darinya. Musa sangat marah terhadap pemberontakan umatnya sehingga ia memukuli bukit batu itu dengan kemarahan.
Kekecewaannya pada kelakuan orang lain mempengaruhi hubungannya dengan Allah.
Apakah Anda juga demikian? Jika demikian, ingatlah tanggapan Allah terhadap tindakan kemarahan terakhir Musa yang tidak terkendali itu. Allah melarang Musa masuk ke tanah perjanjian bersama orang Israel.
Tiga kali dalam Kitab Ulangan, Musa berdoa supaya Allah mengubah pikiran-Nya dan Allah berkata bahwa penghakiman-Nya akan tetap berlaku.
Kemarahan Musa yang tidak terkendali telah membunuh impiannya. Kemarahan menghalangi penggenapan tujuan ilahinya!
Apakah impian-impian Anda telah dihancurkan oleh kemarahan Anda yang tidak terkendali? Apakah pernikahan Anda telah disalibkan oleh kata-kata penuh kebencian, yang diucapkan dalam kemarahan? Apakah hubungan Anda dengan anak-anak Anda telah dihancurkan oleh kata-kata kemarahan? Apakah hubungan Anda dengan orang percaya lain telah rusak karena kemarahan Anda yang tidak terkendali?
Inilah saatnya bertobat! Kemarahan dapat menghancurkan impian dan masa depan hidup Anda.
Ketiga, memisahkan hubungan antar keluarga.
Kemarahan yang tidak terkendali memisahkan anak sulung dari ayahnya yang penuh kasih. Saat adiknya yang bungsu, anak yang hilang, kembali setelah menyia-nyiakan hidupnya dalan uang ayahnya di negeri yang jauh, ayahnya yang mengampuni dia menyembelih anak sapi yang tambun untuk merayakannya. Ini membuat sang kakak begitu marah sehingga ia tidak mau bergabung dengan pesta itu. Ia merasa bahwa ia telah diperlakukan tidak adil karena ia telah setia kepada ayahnya namun ia tidak pernah menerima pesta semacam itu.
Kemarahan si sulung memisahkan dirinya dari ayah dan adiknya. Bagaimana dengan Anda? Apakah kemarahan Anda memisahkan diri Anda dari orang-orang yang Anda kasihi?
Ingat, kemarahan membuat Anda hidup dalam “kesepian.”
Bagaimana kita menguasai kemarahan yang tidak terkendali?
Pertama, Kita harus dipenuhi oleh Roh Kudus
Kita tidak dapat menguasai emosi kita dengan kekuatan kemauan kita sendiri, namun sekali Roh Kudus menguasai kita, perasaan-perasaan kita akan terkendali.
Rasul Paulus menulis dalam Galatia 5:22-23, ”Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetian, kelemahlembutan, penguasaan diri.” Yang adalah lawan dari kemarahan dan kehilangan penguasaan diri.

Buah Roh hanya mungkin jika Anda hidup dalam, Roh. Ini merupakan proses setiap hari dalam hal mati terhadap diri sendiri dan meminum air hidup firman Tuhan.
Apakah Anda penuh dengan Roh atau penuh dengan diri sendiri?
Apakah Anda digerakkan oleh Roh Kudus atau dikendalikan roh jahat?
Kedua, Kita harus belajar untuk memaafkan pelanggaran.
Akal budi membuat seseorang panjang sabar dan orang itu dipuji karena memaafkan pelanggaran.” [Amsal 19:11]
Ada kisah tentang seorang anak laki-laki, ayah dan ibunya sering bertengkar dihadapan anak mereka lalu mereka memutuskan untuk bercerai. Ibu anak ini menikah lagi dengan orang lain.
Dalam keluarga yang baru ini, anak ini sering melihat ibunya disiksa oleh ayah tirinya. Kejadian ini membuat dia sangat marah terhadap ayah tirinya itu. Ketika ia beranjak dewasa, anak laki-laki ini masuk sekolah jurusan seni. Gurunya pun yang berasal dari suku yang sama dengan ayah tirinya -mengejek dia dengan berkata bahwa ia tidak masuk hitungan. Kemudian anak laki-laki ini menendang gambar itu dan keluar dari sekolah tersebut dalam kemarahan.
Ia memendam kemarahan terhadap suku ayah tirinya. Kemarahannya mendorong dirinya untuk belajar menjadi orang yang hebat. Setelah ia menjadi orang yang hebat, ia membalas semua perbuatan ayah tirinya dan gurunya. Ia membunuh dengan sadis suku tersebut sebagai ungkapan kemarahannya. Ia membunuh 6 juta orang dari suku itu. Anda mau tahu siapa anak laki-laki ini?
Dia adalah Adolf Hitler!
Kristus adalah teladan kita tentang bagaimana menanggapi ketidakadilan.
Setelah menyucikan Bait Allah dengan Murka Allah.
Ia secara pribadi diserang oleh pemerintah Romawi saat Ia ditangkap dan dituduh secara tidak adil.
Para prajurit menampar muka-Nya, meludahi-Nya, mengolok-olok-Nya dan memahkotai-Nya dengan mahkota duri. Tanggapan-Nya? “Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawab lagi.” [Markus 15:5]. Yesus berdiri di depan Pilatus tanpa berkata apapun, bahkan walaupun Ia memiliki kuasa di sorga dan di bumi. Itu adalah kemarahan yang terkendali.
Amsal 16:32 berkata,”Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.”
Apakah seseorang melukai perasaan Anda 10 tahun yang lalu, dan Anda masih belum bisa melupakannya? Lupakanlah kesalahan orang lain itu, dan kehidupan Anda akan bahagia.
Ketiga, Jangan berteman dengan orang-orang yang lekas marah.
Amsal 22:24-25 berkata,”Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar…supaya engkau jangan… memasang jerat bagi dirimu sendiri.”
Hai anak gadis, jika Anda berpacaran dengan seorang pemuda yang dikuasai kemarahan yang tidak terkendali, tinggalkanlah dia hari ini. Pemuda, jika Anda berpacaran dengan seorang pemudi yang suka marah tidak terkendali, cinta pada pandangan pertama disembuhkan oleh pandangan kedua. Teruslah mencari!
Bapak, apakah Anda mempunyai seorang anak yang beralih dari kemarahan yang satu kepada yang lainnya? Salomo menyarankan nasehat ini: “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikkan akan mengusir [kebodohan] itu daripadanya.” [Amsal 22:15].
Saat saya masih kanak-kanak dan kehilangan penguasaan diri, mama saya selalu menolong saya dengan sabuk di tangannya. Saya belajar menguasai kemarahan saya.
Tuhan Yesus memberkati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar