Minggu, 04 Agustus 2013

 

Kesiapan Teknologi Jalan dan Jembatan Indonesia Menghadapi Pembangunan Jalan Trans ASIA dan ASEAN Highway

Hampir semua ruas-ruas jalan strategis nasional di pulau Jawa, Bali dan Sumatera menjadi bagian jaringan Trans Asia (termasuk Asean Highways), yang terbagi ke dalam koridor AH-2 dan AH-25. Koridor AH-2 terbentang dari Denpasar (Indonesia) hingga ke kota Khosarary (Iran) melalui India, yang sebagian besar di wilayah Indonesia melalui jalur-jalur strategis nasional seperti jalur pantai Utara Jawa (Pantura Jawa), sedangkan koridor AH-25 pada jalur lintas Timur Sumatera (Jalintim Sumatera). Penetapan beberapa ruas jalan strategis nasional ke dalam jaringan jalan Trans Asia menuntut kesiapan teknologi bidang Jalan dan Jembatan, terutama di dalam mengantispasi pembangunan jalan Trans Asia tersebut di Indonesia.
Standar desain jalan yang digunakan oleh Indonesia saat ini pada prinsipnya hampir tidak berbeda dengan standar desain sebagaimana yang ditetapkan oleh Trans Asia, kecuali pada ruas-ruas jalan eksisting saat ini. Sementara itu teknologi keselamatan jalan yang sedang diprogramkan di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum lebih berorientasi kepada peningkatan aspek geometrik melalui penerapan rekayasa keselamatan serta penggunaan Audit Keselamatan Jalan. Untuk pengaturan lalu lintas yang selama ini banyak mengacu kepada Keputusan Menteri Perhubungan No. 61 dan 62 tahun 1980 dipandang perlu beberapa penyesuaian terutama terhadap penerapan rambu yang bersifat internasional.
Demikian juga dengan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda dan Jembatan Selat Malaka sebagai upaya pengintegrasian koridor AH-25, AH-2 ke koridor utama di Semenanjung Malaysia berdasarkan hasil kajian pra-feasibility study dipandang cukup layak. Secara keseluruhan, pelaksanaan pembangunan Trans Asia didukung oleh kesediaan sejumlah pedoman teknis dari berbagai aspek teknologi jalan, jembatan dan keselamatan jalan. Terakhir, guna mewujudkan infrastruktur secara berkualitas diperlukan pelaksanaan uji laik fungsi dan Standar Pelayanan Minimum.
1. PENDAHULUAN
Pada awalnya Trans Asia, termasuk di dalamnya Asean Highways, merupakan sebuah gagasan besar untuk menyatukan negara-negara Asia. Gagasan ini dirintis oleh United Nations Economy and Social Commission Organisation [UNESCO, 2007] untuk Asia Pacific sejak lima puluh tahun yang lalu yang bertujuan untuk mengintegrasikan negara-negara Asia dalam berbagai bidang seperti transportasi, perdagangan, pariwisata internasional, dan banyak hal terutama di dalam rangka meningkatkan kualitas hidup (quality life) negara-negara Asia. Kini Trans Asia muncul diz hadapan semua negara-negara Asia yang semula hanya sebuah mimpi, dan sekarang menjadi sebuah kenyataan yang memerlukan sikap proaktif dari semua negara yang dilintasinya. Sejak tahun sembilan puluhan, implementasi Trans Asia dilakukan lebih intensif. Apalagi sejak saat itu, secara politis negara-negara Asia tidak lagi terkotak-kotak ke dalam blok-blok faham politik tertentu. Kemudian isu globalisasi yang ditandai dengan meleburnya pasar domestik menjadi pasar global yang dikenal dengan era pasar bebas, seakan antar negara dengan negara lain tanpa sekat yang berarti secara ekonomi. Untuk mengintegrasikan semua kepentingan negara-negara Asia tersebut, Trans Asia sebagai prasarana jalan memegang peranan yang tidak diragukan lagi. Trans Asia menjadi alat pemersatu negara-negara Asia yang melintasi batas-batas teritorial daratan, sungai dan lautan. Untuk Indonesia, sebagian besar ruas-ruas jalan strategis nasional menjadi bagian jaringan Trans Asia. Koridor-2 Trans Asia terbentang dari Denpasar (Indonesia) hingga ke kota Khosarary (Iran) melalui India, yang sebagian besar di wilayah Indonesia melalui jalur-jalur strategis nasional seperti jalur pantai Utara Jawa (Pantura Jawa) dan jalur lintas Timur Sumatera (Jalintim Sumatera). Penetapan beberapa ruas jalan strategis nasional ke dalam jaringan jalan Trans Asia mau tidak mau harus segera diantisipasi terutama dari aspek teknologi jalan dan jembatan. Beberapa ruas jalan di Indonesia yang menjadi bagian dari Trans Asia koridor-2 (AH-2) belum sepenuhnya terhubungkan secara fisik, terutama segmen ruas jalan nasional dari Denpasar ke pulau Jawa yang masih dihubungkan dengan moda transportasi ASDP Ketapang-Gilimanuk. Demikian juga dengan ruas jalur Pantura Jawa dengan ruas Jalintim Sumatera yang masuk ke dalam koridor AH-25 juga masih dilayani dengan ASDP Merak-Bakauheuni. Kedua koridor juga masih belum terintegrasi dengan koridor utama AH-2 di daratan Asia. Penetapan pelabuhan laut yang akan menjadi pusat perpindahan moda, masih menjadi sebuah persoalan besar ke depan. Pengintegrasian koridor-koridor tersebut dengan koridor utama AH-2 merupakan sebuah tantangan besar dari aspek teknologi. Hambatan geografis sebagai negara kepulauan yang terpisah-pisah merupakan kendala yang perlu dipecahkan dengan solusi teknologi yang komprehensif. Departemen Pekerjaan Umum sebagai departemen teknis memiliki sejumlah kemampuan bagaimana untuk mengupayakan pengintegrasian koridor-koridor Trans Asia di Indonesia ke koridor utama di semenanjung Malaysia. Demikian juga dengan kesiapan teknologi pendukung lainnya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan teknologi keselamatan untuk prasarana jalan maupun keselamatan sarana transportasi. Di samping hambatan geografis dan teknologi, kesiapan lain yang juga diperlukan adalah peraturan dan perundang-undangan serta standarisasi bidang jalan dan jembatan. Undang-Undang No. 38 tahun 2004 dan PP No. 34 tahun 2006 tentang Jalan, serta revisi UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menjadi pilar utama implementasi teknologi jalan dan jembatan serta pengaturan lalu lintas dan keselamatan jalan untuk ruas Trans Asia di Indonesia. Selain perundang-undangan tersebut, standarisasri bidang jalan dan jembatan serta standar pelayanan minimum jalan akan memainkan peranan penting dalam mewujudkan kualitas infrastruktur berstandar internasional. Dengan berbagai hambatan serta kesiapan teknologi yang dimiliki, makalah ini mencoba mengetengahkan sudut pandang teknologi jalan dan jembatan dikaitkan dengan rencana stategis nasional Departemen Pekerjaan Umum, dalam menyediakan infrastruktur jalan yang aman, lancar, berkeselamatan, dan efisien sebagaimana tersirat di dalam UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan.
2. TUJUAN
Secara umum, makalah ini bertujuan untuk memaparkan kesiapan Indonesia khususnya Departemen Pekerjaan Umum di dalam menyiapkan teknologi bidang jalan dan jembatan di dalam mendukung terintegrasinya koridor Trans Asia di Indonesia dengan koridor utama di daratan Asia. Guna mewujudkan tujuan tersebut diperlukan teknologi bidang jalan dan jembatan serta teknologi keselamatan jalan yang berstandar internasional sehingga dapat memberi pelayanan jalan yang berstandar internasional di semua bagian ruas jalan strategis nasional di Indonesia. Oleh karena itu, Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan Indonesia yang digunakan saat ini, juga harus dapat mengadopsi kebutuhan pergerakan lalu lintas transportasi internasional, sehingga kerancuan penerapan standar geometrik jalan serta standar peraturan lalu lintas dan keselamatan pada ruas-ruas jalan strategis nasional tersebut dapat diminimalisasi.
3. KONDISI JARINGAN TRANS ASIA DI INDONESIA
Jaringan jalan Trans Asia merupakan rute atau ruas ruas jalan strategis di Asia antara lain mencakup ruas-ruas jalan yang secara substansi melintasi lebih dari satu wilayah dan sub-wilayah di dalam suatu negara hingga ke negara lain. Rata-rata jaringan jalan Trans Asia merupakan jalan arteri primer dan jalan kolektor primer. Demikian juga ruas-ruas jalan strategis nasional Indonesia yang menjadi ruas jalan Trans Asia, baik melaui koridor AH-2 maupun AH-25. Secara total, panjang keseluruhan ruas jalan Trans Asia di Indonesia mencapai 3.918 km dan panjang jaringan ASDP mencapai 34 km. Rinciannya, koridor AH-2 yang terbentang dari Denpasar, Surabaya, Surakarta, Semarang, Cikampek, Jakarta hingga ke Merak memiliki panjang 1.412 km dengan jaringan ASDP Ketapang-Gilimanuk sepanjang 8 km. Koridor AH-25 dari Banda Aceh, Medan, Dumai, Pekanbaru, Jambi, Palembang hingga Bakauheuni memiliki panjang jalan 2.506 km dan panjang lintasan ASDP Bakauheuni-Merak 26 km.
Rinciannya, koridor AH-2 yang terbentang dari Denpasar, Surabaya, Surakarta, Semarang, Cikampek, Jakarta hingga ke Merak memiliki panjang 1.412 km dengan jaringan ASDP Ketapang-Gilimanuk sepanjang 8 km. Koridor AH-25 dari Banda Aceh, Medan, Dumai, Pekanbaru, Jambi, Palembang hingga Bakauheuni memiliki panjang jalan 2.506 km dan panjang lintasan ASDP Bakauheuni-Merak 26 km.
a. Kelas jalan
Secara keseluruhan, kategori jalan Trans Asia AH-2 dan AH-25 adalah jalan nasional dan jalan tol. Total panjang jalan Trans Asia di Indonesia adalah 3582 km (jalan nasional) dan 336 km (tol). Gambar berikut lebih jauh menginformasikan standar desain pada ruas-ruas jalan yang menjadi bagian Trans Asia. Standar desain untuk koridor AH-2 bervariasi antara Primer (23,7%), kelas I (1,3%), kelas I/II (25,1%), dan kelas II (49,9%). Sedangkan standar desain untuk koridor AH-25 bervariasi antara kelas I/II (1,0%), kelas II/III (39,1%), kelas I/III (1,2%), kelas II (20,4%), kelas III (37,3%) dan lainnya (1,0%).
b. Lebar perkerasan jalan
Berdasarkan data yang didapat sebagian besar ruas jalan nasional yang menjadi bagian Trans Asia masih di bawah standar Trans Asia untuk kelas arteri primer. Lebar jalan nasional yang sesuai standar Trans Asia atau di atas 7 meter adalah 288,2 km pada koridor AH-25, sedangkan untuk koridor AH-2 hampir semuanya sesuai standar berkisar 923,9 km.
c. Lebar bahu jalan
Sebagian besar bahu jalan untuk koridor AH-25 masih dibawah 2,00 meter yaitu sepanjang 2107,6 km (bahu kiri) dan 2082,8 km (bahu kanan), sedangkan untuk koridor AH-2 adalah sepanjang 625,9 km (bahu kiri) dan 724,0 km (bahu kanan).
d. MST jalan
MST jalan nasional yang menjadi bagian dari Trans Asia antara lain 8 ton dan 10 ton. Untuk Koridor AH-25 hampir semuanya masih berada di sekitar 8 ton, sedangkan untuk koridor AH-2 sebagian telah menerapkan MST 10 ton. Departemen PU dalam hal ini Ditjen Bina Marga telah memprogramkan standar MST untuk ruas-ruas jalan strategis nasional seperti jalur Pantura Jawa dan Jalintim Sumatera dengan 10 ton termasuk jalan tol.
e. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas di negara-negara Asia yang menjadi bagian perlintasan Trans Asia tidak banyak dibahas, padahal merupakan parameter penting dalam menilai kinerja prasarana jalan. Demikian juga dengan data kecelakaan pada koridor AH-2 dan AH-25 di Indonesia, sekalipun kedua koridor tersebut menjadi penyumbang terbesar angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Sebagai gambaran, kecelakaan lalu lintas di Indonesia yang sering dipublikasikan adalah jumlah korban MD (meninggal dunia) 10-11 ribu pertahun berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia. Beberapa instansi memperkirakan angka kecelakaan melebihi 11 ribu MD pertahun. Para peneliti di UGM, misalnya, memprediksi jumlah korban kecelakaan lalu lintas MD pertahun mencapai 30 ribu orang.
Kedepan angka kecelakaan ini akan memainkan peranan penting dalam strategi peningkatan kualitas keselamatan jalan melalui pendekatan accident reduction. Oleh karena itu penataan sistem data-base kecelakaan lalu lintas (Sidlantas) Indonesia diharapkan menjadi salah satu prioritas. Di samping untuk penanganan lokasi-lokasi rawan kecelakaan, angka kecelakaan ini dibutuhkan terutama untuk menghitung tingkat kecelakaan (accident rate) atau tingkat fatalitas (fatality rate) pada ruas-ruas Trans Asia sebagai indikator kinerja (performance indicator) untuk menilai kualitas keselamatan prasarana jalan.
f. Koneksi antar jaringan
Koneksi antar koridor AH-2 dengan AH-25 selama ini masih dilayani oleh ASDP Ketapang-Gilimanuk (selat Bali) dan ASDP Merak-Bakauheuni (selat Sunda). Kedua penyeberangan ini memiliki lalu lintas yang cukup padat. Untuk periode waktu tertentu seperti bulan Ramadan menjelang Idul Fitri, serta musim liburan sekolah, pemanfaatan kedua penyeberangan ini selalu menjadi perhatian pemerintah. Keduanya memiliki nilai strategis di dalam mengembangkan kegiatan perekonomian dan perdagangan. ASDP Merak-Bakauheuni, misalnya, rata-rata menyeberangkan penumpang dari Merak menuju Bakauheuni mencapai 2.039.556 penumpang dengan pertumbuhan 6,03% pertahun.
Sebaliknya dari Bakauheuni ke Merak mencapai 2.196.217 penumpang dengan pertumbuhan 6,29% pertahun di luar angkutan barang lainnya. Demikian juga dengan penyeberangan Katapang-Gilimanuk yang juga memiliki demand lalu lintas yang cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada sarana dan prasarana lain yang mampu menggantikan kedua ASDP dengan segala kapasitas pelayanan yang melekat padanya. Koneksi lainnya yang tidak kalah penting adalah koneksi dari AH-2 dan AH-25 ke koridor utama AH-2 di semenanjung Malaysia.
4. STANDAR DESAIN TRANS ASIA
4.1. Standar Geometri
Pada prinsipnya standar geometrik jaringan jalan Trans Asia mengacu kepada AASHTO sebagaimana yang dikembangkan di Indonesia. Klasifikasi jalan Trans Asia dibagi ke dalam empat kelas yaitu Primer, kelas I, II, dan III seperti diberikan pada Tabel-1 berikut.
Tabel-1 Standar jalan Trans Asia
Standar desain geometri untuk Trans Asia dan standar nasional ditetapkan seperti pada Tabel-2 dan Tabel-3. Dalam PP No. 34 tahun 2006 tentang Jalan pada pasal 31 (3) mengklasifikasi kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan sebagai berikut:
1) Jalan Bebas Hambatan, yaitu jalan minimum 4 lajur 2 arah dengan median, kontrol akses penuh, dan pagar pembatas atas kepemilikan jalan (rumija), dengan lebar lajur paling sedikit 3,50 m.
2) Jalan Raya, yaitu jalan minimum 4 lajur 2 arah terbagi dengan kontrol akses yang terbatas, dengan lebar lajur paling sedikit 3,50 m.
3) Jalan Sedang, yaitu jalan 2 lajur 2 arah dengan lebar jalur paling sedikit 7,00 m, dan
4) Jalan Kecil, yaitu jalan 2 lajur 2 arah dengan lebar jalur paling sedikit 5,50 m.
Tabel-2 Standar Trans Asia
Sumber: Asian Highway ; L=level; R=rolling; M=mountainous; S=steep
Tabel-3 Standar Indonesia
Sumber: Iskandar, 2008; D=datar; B=bukit; G=gunung
Membandingkan standar desain jalan pada UU No.38 tahun 2004, PP No. 34 tahun 2006, standar gometrik jalan antar kota [Kusnandar, 2008], serta standar desain Trans Asia, pada prinsipnya standar desain jalan yang diterapkan di Indonesia sebagian besar memenuhi standar Trans Asia. Beberapa bagian standar jalan nasional yang sudah beroperasional yang dipandang secara teknis masih di bawah standar Trans Asia antara lain:
a. Lebar ROW; di dalam standar jalan Indonesia menetapkan ROW jalan minimal 30 meter untuk jalan bebas hambatan dan 25 meter untuk jalan raya. Trans Asia menetapkan lebar ROW 50 meter untuk kelas jalan primer 4/2-D dan 40 meter untuk jalan kelas I. Membandingkan perbedaan ROW jalan lebih berimplikasi kepada perbedaan ruang bebas samping. ROW jalan yang lebih lebar akan memberi ruang bebas samping yang lebih luas dibandingkan dengan ROW yang lebih rendah. Mengikuti standar Trans Asia jelas akan meningkatkan tingkat keselamatan, akan tetapi di sisi lain memiliki konsekuensi pendanaan untuk pelebaran ROW jalan yang tidak kecil bila diterapkan untuk semua ruas jalan yang menjadi bagian Trans Asia.
b. Vertical Clearance; tinggi ruang bebas jalan yang akan diterapkan untuk semua ruas jalan nasional yang menjadi bagian Trans Asia harus mempertimbangkan standar Trans Asia. Standar tinggi ruang bebas yang ditetapkan Trans Asia adalah 4,50 meter. Secara prinsip di dalam standar geometrik jalan Indonesia sebetulnya sudah menetapkan 5,00 meter. Pertanyaannya apakah semua ruas jalan nasional, kecuali jalan tol, sudah menerapkan standar yang sama ?
c. Lebar perkerasan jalan; konsekuensi penerapan Trans Asia di sejumlah negara mau tidak mau harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh Trans Asia termasuk lebar lajur jalan nasional. Berdasarkan data yang didapatkan, pada sebagian besar ruas jalan nasional yang menjadi bagian Trans Asia, beberapa segmen ruas jalan masih di bawah standar Trans Asia untuk kelas arteri primer. Lebar jalan nasional yang masih di bawah 7,00 meter masih berkisar 62% pada koridor AH-25, sedangkan untuk koridor AH-2 hanya berkisar 1,4%. Untuk koridor AH-25 diperkirakan masih banyak memerlukan usaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan standar Trans Asia.
d. Lebar bahu jalan; lebar bahu masih menjadi persoalan bila mengikuti standar Trans Asia, yang menstandarkan lebar bahu jalan untuk arteri primer 2,00-3,50 meter. Kondisi eksisting lebar bahu jalan nasional memperlihatkan sebagian masih berada di bawah 2,00 meter baik untuk koridor AH-25 dan koridor AH-2. Oleh karena itu tugas berat kedepan adalah bagaimana menyiapkan bahu yang standar yang tentu saja memiliki konsekuensi pendanaan yang tidak kecil.
Sedangkan beberapa permasalahan yang akan muncul untuk ruas jalan nasional di mana pada ruas jalan Trans Asia di negara lain tidak diulas antara lain :
a) Pembatasan akses; pembatasan akses sebagai persyaratan jalan arteri primer masih menjadi persoalan di ruas-ruas jalan nasional. Sebuah pertanyaan yang menarik dari para ahli jalan yang sering menggelitik adalah dapatkah ruas Pantura Jawa sebagai ruas arteri primer dipandang sebagai kelas jalan raya dengan fungsi arteri? Permasalahan ke depan adalah bagaimana menerapkan standar geometrik secara maksimal pada ruas-ruas jalan arteri primer sesuai kelas dan fungsinya.
b) Pembatasan bukaan median; di negara-negara maju penggunaan U-Turn tidak sepopuler di Indonesia. Penggunaan U-Turn untuk ruas-ruas jalan arteri primer yang didesain dengan kecepatan relatif tinggi sangat beresiko terhadap konflik lalu lintas yang pada akhirnya akan menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
c) Drainase jalan; kebanyakan drainase jalan ruas-ruas jalan nasional, sebagaimana diungkapkan oleh berbagai media, masih memerlukan perhatian tersendiri. Bentuk dan dimensi drainase jalan harus didesain sedemikian rupa agar mampu mengalirkan air di permukaan jalan dengan baik. Fakta yang sering dihadapi pada kondisi eksisting, seringkali air permukaan jalan tidak teralirkan dengan baik sehingga mengakibatkan banjir. Selain berpengaruh terhadap kerusakan jalan, kondisi ini juga berpengaruh terhadap kecelakaan lalu lintas. Penanganan drainase jalan ke depan harus mempertimbangkan pengaruh banjir akibat perubahan iklim global.
d) Lalu lintas sepeda motor; Populasi penggunaan sepeda motor di negara-negara Asia termasuk Indonesia tergolong tinggi. Akan tetapi, keberadaan sepeda motor pada ruas-ruas jalan Trans Asia tidak mendapatkan perhatian khusus. Tingginya proporsi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor di negara-negara Asia (81% untuk Indonesia) seyogianya menjadi catatan penting di dalam penyediaan prasarana yang berkeselamatan bagi semua pengguna jalan. Riset berkaitan dengan sepeda motor dipandang perlu guna memberi saran penting terhadap kebijakan lajur sepeda motor di Indonesia. Puslitbang Jalan dan Jembatan dalam dua tahun terakhir telah melakukan beberapa kajian penting, sambil menunggu kebijakan perlu tidaknya lajur sepeda motor. Dalam waktu dekat, Puslitbang Jalan dan Jembatan akan melakukan seminar nasional terkait denganinfrastruktur sepeda motor.
Mempertimbangkan perkembangan penggunaan sepeda motor yang tumbuh cepat, pesatnya pengembangan penyediaan angkutan masal untuk orang, munculnya kemacetan-kemacetan, dan kecelakaan lalu-lintas yang banyak melibatkan sepeda motor, serta klasifikasi jalan, maka perlu untuk dipikirkan pengembangan infrastruktur jalan sebagai berikut:
1) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, dalam tingkat kepadatan tertentu dimana volume sepeda motor belum tinggi, dapat dilakukan pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, sepeda motor diwajibkan hanya menggunakan lajur paling kiri.
2) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, jika tingkat kepadatan lalu-lintas cukup tinggi dimana volume sepeda motor juga cukup tinggi, perlu dilakukan pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, dapat dikembangkan ”jalur lambat” yang sejajar dengan jalur utama, dipisahkan oleh jalur pembagi, sebagai jalan untuk sepeda motor bercampur dengan kendaraan lambat lainnya.
3) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan sedang, pada tingkat kepadatan tertentu dan volume sepeda motor cukup tinggi, perlu dilakukan pemisahan sepeda motor dari kendaraan bermotor roda-4. Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan jalan dimana bahu jalan diperlebar untuk jalan sepeda motor dan kendaraan lambat lainnya, atau meningkat menjadi jalan raya sesuai butir 1) atau butir 2) di atas.
4) Bila kebutuhan sepeda motor sudah cukup tinggi sehingga sudah sangat tidak efisien jika digabungkan dengan kendaraan bermotor roda-4, maka perlu dipikirkan kedepan bagaimana pengembangan Jalur Khusus Sepeda Motor (JKSM) yang merupakan pengembangan dari jaringan jalan yang ada.
Pengaturan kecepatan aliran lalu-lintas yang diizinkan dalam setiap ruas jalan tersebut, dapat mengacu kepada batasan-batasan kecepatan rencana yang diatur dalam PP 34/2006. PP tersebut mengatur bahwa untuk jalan arteri dalam sistem primer, kecepatan rencana minimum 60km/jam, sementara itu dalam sistem sekunder minimum 30km/jam. Kecepatan yang diizinkan untuk pengguna jalan dibatasi tidak melebihi kecepatan rencana jalan tersebut.
1) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, dalam tingkat kepadatan tertentu dimana volume sepeda motor belum tinggi, dapat dilakukan pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, sepeda motor diwajibkan hanya menggunakan lajur paling kiri.
2) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, jika tingkat kepadatan lalu-lintas cukup tinggi dimana volume sepeda motor juga cukup tinggi, perlu dilakukan pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, dapat dikembangkan ”jalur lambat” yang sejajar dengan jalur utama, dipisahkan oleh jalur pembagi, sebagai jalan untuk sepeda motor bercampur dengan kendaraan lambat lainnya.
3) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan sedang, pada tingkat kepadatan tertentu dan volume sepeda motor cukup tinggi, perlu dilakukan pemisahan sepeda motor dari kendaraan bermotor roda-4. Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan jalan dimana bahu jalan diperlebar untuk jalan sepeda motor dan kendaraan lambat lainnya, atau meningkat menjadi jalan raya sesuai butir 1) atau butir 2) di atas.
4) Bila kebutuhan sepeda motor sudah cukup tinggi sehingga sudah sangat tidak efisien jika digabungkan dengan kendaraan bermotor roda-4, maka perlu dipikirkan kedepan bagaimana pengembangan Jalur Khusus Sepeda Motor (JKSM) yang merupakan pengembangan dari jaringan jalan yang ada.
Pengaturan kecepatan aliran lalu-lintas yang diizinkan dalam setiap ruas jalan tersebut, dapat mengacu kepada batasan-batasan kecepatan rencana yang diatur dalam PP 34/2006. PP tersebut mengatur bahwa untuk jalan arteri dalam sistem primer, kecepatan rencana minimum 60km/jam, sementara itu dalam sistem sekunder minimum 30km/jam. Kecepatan yang diizinkan untuk pengguna jalan dibatasi tidak melebihi kecepatan rencana jalan tersebut.
4.2. Dimensi dan MST Kendaraan
Diperkirakan dengan beroperasinya Trans Asia di Indonesia akan membawa sejumlah konsekuensi tersendiri terutama bagi lalu lintas nasional. Dimensi kendaraan sebagai salah satu parameter di dalam perencanaan desain geometri harus mempertimbangkan dimensi kendaraan yang beroperasi di negara-negara Asia lainnya. Demikian juga dengan penerapan MST untuk ruas-ruas jalan nasional yang menjadi bagian dari Trans Asia harus mempertimbangkan MST di negara-negara lainnya. Untuk Indonesia, dimensi kendaraan dan MST yang berlaku adalah seperti diberikan pada Tabel-4. Dimensi dan MST kendaraan pada tabel tersebut merupakan standar pelayanan jalan berdasarkan klasifikasi, fungsi dan pemanfaatannya sebagaimana termuat di dalam UU No. 38 tahun 2004 dan PP No. 34 tahun 2006 tentang Jalan, serta PP No. 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, dan revisi UU No. 14 tahun 1992 (yang saat ini sedang dalam pengesahan).
Sumber: Iskandar, 2008
Dimensi dan MST kendaraan sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan menjadi standar minimum [Iskandar, 2008] yang harus dipenuhi guna mewujudkan keselamatan transportasi darat. Penerapan dimensi dan MST kendaraan untuk ruas arteri bagi ruas-ruas jalan yang menjadi bagian Trans Asia khusus untuk jalan kelas I dengan fungsi arterial dijinkan dengan MST >10 ton. Namun bila memasuki kelas dan fungsi jalan yang lebih rendah, tentunya diperlukan pengaturan sehingga kendaraan dengan MST>10 ton tidak serta merta diperkenankan. Oleh karena itu, tantangan ke depan perpindahan moda berdasarkan ukuran dan MST kendaraan harus difasilitasi dengan terminal barang. Di sisi lain, untuk ruas-ruas jalan Trans Asia baik pada koridor AH-2 dan AH-25 yang belum memiliki standar jalan dengan MST>10 ton ke depan harus menyesuaikan dengan standar Trans Asia untuk jalan kelas primer dan kelas I yang berstandar MST 10 ton. Pembatasan beban seperti yang dinyatakan di dalam perundang-undangan pada dasarnya selain untuk mewujudkan parasarana transportasi yang aman, juga untuk mencegah terjadinya overloading yang dapat berdampak terhadap kerusakan permukaan jalan. Konsekuensi kerusakan jalan tidak saja terhadap terjadinya penurunan umur rencana jalan, tetapi memiliki dampak yang lebih luas ke bidang lain seperti kecelakaan lalu lintas dan makin lamanya waktu perjalanan, sebagaimana yang terjadi pada ruas-ruas jalan di jalur Pantura Jawa.
5. KESELAMATAN JALAN
Berdasarkan hasil deklarasi tentang upaya peningkatan keselamatan jalan di Asia Pasifik pada tanggal 11 November 2006, antara lain:
a) Membuat kebijakan prioritas keselamatan jalan
b) Membuat jalan yang berkeselamatan untuk kelompok vulnerable road user yang mencakup pejalan kaki, pesepeda, dan sepeda motor
c) Membuat jalan yang lebih berkeselamatan yang mampu mengurangi keparahan kecelakaan
d) Mengembangkan Trans Asia sebagai sebuah model keselamatan jalan.
Program peningkatan keselamatan di Indonesia secara prinsip memiliki aspek legalitas yang kuat yang antara lain tersirat di dalam Kesepakatan Bersama tentang rencana aksi keselamatan jalan oleh empat Menteri dan Kapolri pada tahun 2004. Kesepakatan tersebut antara lain berisi kerjasama lintas sektoral terkait keselamatan jalan yang mencakup:
a) Pendidikan masyarakat tentang tata tertib berlalu lintas sejak usia dini
b) Ketersediaan informasi masyarakat tentang lalu lintas
c) Peraturan perundang-undangan lalu lintas & penegakan hukum
d) Persyaratan prasarana jalan
e) Persyaratan fasilitas perlengkapan jalan
f) Persyaratan kegawatdaruratan jalan
g) Pendanaan keselamatan jalan
Selain itu, di dalam RPJM-2 tahun 2010-2014 Departemen Pekerjaan Umum juga mengisyaratkan komitmen yang kuat tentang upaya peningkatan keselamatan jalan. Salah satu isi RPJM-2 tersebut adalah mengembangkan sistem transportasi nasional yang andal dan berkemampuan tinggi yang bertumpu pada aspek keselamatan, dan keterpaduan antar moda, antar sektor, antar wilayah, aspek sosial budaya, dan profesionalitas sumber daya manusia transportasi. Strategi peningkatan keselamatan jalan yang dikenal adalah pencegahan kecelakaan dan pengurangan kecelakaan. Pencegahan kecelakaan berorientasi kepada bagaimana mengupayakan desain jalan yang lebih berkeselamatan (safer road) diterapkan sejak dini pada ruas-ruas jalan kita. Sedangkan pendekatan pengurangan kecelakaan adalah bersifat penanganan pada daerah rawan kecelakaan lalu lintas. Pendekatan terakhir ini membutuhkan dukungan data kecelakaan lalu lintas, yang selama ini masih memerlukan penataan yang lebih serius dan lebih komprehensif.
Beberapa pendekatan yang dilakukan serta kesiapan teknologi keselamatan sesuai road map litbang keselamatan jalan [Idris, 2009], pada prinsipnya bagaimana mengupayakan desain jalan yang lebih berkeselamatan dengan prioritas ruas jalan Trans Asia di Indonesia. Adapun kesiapan panduan/teknologi yang dimiliki oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan saat ini antara lain:
a) Pedoman penanganan lokasi kecelakaan lalu lintas,
b) Pedoman audit keselamatan jalan,
c) Pedoman pendataan kecelakaan lalu lintas,
d) Standar Geometrik Jalan antar kota,
e) Buku Toward Safer Road Indonesia,
f) Teknologi pengurang kecepatan (rumble strip, rumble area, road hump).
Di samping tersedianya pedoman-pedoman tersebut, secara berkala akan terus di-update guna menyesuaikan kondisi lalu lintas dan teknologi yang berkembang. Pada prinsipnya teknologi yang dihasilkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan harus siap diaplikasikan ke semua ruas jalan Trans Asia di Indonesia.
6. PENGATURAN LALU LINTAS
Pengaturan lalu lintas tidak kalah pentingnya untuk ditinjau seiring dengan konsekuensi penerapan Trans Asia di Indonesia. Pengaturan lalu lintas yang mencakup perambuan, marka serta bangunan pengaman jalan selama ini berorientasi kepada Peraturan Menteri Perhubungan No. 61 dan 62 tahun 1983 serta beberapa pedoman perencanaan perambuan dan marka jalan yang digunakan di lingkungan Depertemen Pekerjaan Umum. Ke depan masih banyak penyesuaian terkait dimensi, warna, bahasa, dan penempatan dari perambuan dan marka jalan untuk diterapkan pada Trans Asia di Indonesia.
a) Rambu jalan; rambu jalan sebagai bagian pengaturan lalu lintas diperkirakan akan mengalami beberapa penyesuaian mengikuti standar internasional sebagai dasar pengaturan yang diterapkan di Trans Asia. Selain bentuk dan ukuran yang harus disesuaikan khususnya untuk jalan arteri primer, beberapa rambu petunjuk yang menggunakan bahasa Indonesia juga hendaknya dilengkapi dengan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Penggunaannya atau penempatannya tidak harus dalam satu tiang, akan tetapi bisa diatur berselang pada tiang berbeda agar informasi yang diberikan bisa difahami baik oleh pengguna jalan domestik maupun internasional. Bersamaan dengan itu, diperlukan sosialisasi penggunaan rambu internasional kepada pengguna jalan domestik, khususnya pada ruas-ruas jalan Trans Asia.
b) Marka jalan; sama seperti halnya dengan rambu jalan, ukuran dan warna juga harus disesuaikan dengan standar internasional. Kecuali itu, yang tidak kalah pentingnya adalalah kualitas marka agar mampu berfungsi baik pada siang, malam, kondisi hujan, dan sebagainya.
c) Patok kilometer; ini juga perlu disesuaikan dengan standar internasional, agar pemanfaatannya dapat lebih optimal.
d) Bangunan pengaman tepi jalan; khususnya median barrier yang ditempatkan sebagai pemisah jalur lalu lintas. Sebuah model atau desain yang disarankan untuk median fisik adalah median concrete barrier model New Jersey terutama untuk mensiasati lebar median jalan yang kurang dari 3 meter. Model lain yang juga sering digunakan adalah guardrail(rel pengaman) atau wire rope barrier. Model terakhir ini masih jarang digunakan di Indonesia sehingga dipandang masih perlu kajian yang lebih komprehensif. Puslitbang Jalan dan Jembatan di dalam road map penelitiannya juga telah mengagendakan penelitian model wire rope barrier ini sebagai salah satu pilihan model median barrier untuk ruas-ruas jalan di Indonesia.
7. JEMBATAN SELAT SUNDA DAN JEMBATAN SELAT MALAKA
Kendala yang dihadapi untuk menyatukan koridor Trans Asia, baik di Indonesia maupun ke koridor utama di Semenanjung Malaysia, adalah hambatan geografis berupa lautan dan kondisi tanah pendukung di bawahnya. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengupayakan agar koridor Trans Asia di Indonesia serta jaringan di daratan Asia bisa diwujudkan secara fisik berupa jembatan (atau terowongan) di Selat Bali, Selat Sunda dan Selat Malaka, sehingga lalu lintas darat menghubungkan koridor-koridor Trans Asia dapat terhubungkan. Sampai sejauh ini baru Jembatan Selat Sunda (JSS) dan Jembatan Selat Malaka (JSM) yang telah memiliki kajian awal berupa Pra-Feasibility Study (Pra-FS) oleh Departemen PU [Sjahdanulirwan, 2008]. Rencana pembangunan kedua jembatan berdasarkan Pra-FS dipandang cukup layak, baik dari aspek teknologi dan ekonomi, sehingga perlu ditindaklanjuti dengan FS.
Kajian JSS mencakup rencana jembatan rute-1 di utara (diusulkan Balitbang PU), dan rute-2 di selatan (diusulkan Wiratman). Sedangkan rute terowongan (diusulkan Sindur) berada sedikit di utara rute-1 jembatan. Kelemahan utama terowongan dibandingkan jembatan adalah perlunya sistem pengamanan lebih ketat terhadap gangguan keselamatan, bencana alam, atau sabotase. Untuk lokasi jembatan, dengan alternatif bentang mulai 1200 meter (tiga kali ukuran kapal tanker terbesar) hingga 4700 meter, pemilihan rute-1 atau rute-2 sedikit banyak bergantung pada potensi sesar di masing-masing rute, kedalaman laut dan tanah keras, serta koneksi dengan jaringan tol yang sudah ada. Bentang jembatan suspension terbesar di dunia adalah 1991 meter di Akashi-Kaikyo, Jepang, tahun 1998, dan masih dalam rencana 3300 meter di Messina (Italia), dan 5000 meter di Gibraltar (Spanyol). Indonesia telah memiliki pengalaman jembatan antar pulau, yaitu jembatan Suramadu yang memiliki bentang 434 meter.
Sementara itu untuk JSM, potensi bencana alam (utamanya kegempaan) relatif tidak sebesar JSS, oleh karena itu penggunaan terowongan masih memungkinkan. Lokasi yang dikaji mencakup koridor I, II, and III. Karena areanya lebih luas dari JSS, maka pemilihan koridor juga sangat dipengaruhi oleh rencana tata ruang wilayah/pulau, selain aspek-aspek teknis dan ekonomi. Pengalaman Indonesia di bidang terowongan jalan raya masih minim, mungkin baru dimulai pada terowongan Nagrek di Jawa barat. Pengalaman selama ini lebih banyak pada terowongan kereta api dan air. Sementara itu di negara Malaysia, tempat JSM ini akan tersambung, telah memiliki Smart Tunnel sepanjang 9,7 km. Hal lain yang juga penting adalah aturan internasional tentang batas-batas pelayaran, dan persetujuan rute dari negara yang terkait (Malaysia/Singapore).
8. LAIK FUNGI JALAN DAN STANDAR PELAYANAN MINIMUM
Penerapan laik fungsi jalan dan standar pelayanan minimum (SPM) jalan sebagaimana tersirat di dalam UU No. 38 tahun 2004 serta PP No. 34 tahun 2006 tentang Jalan harus dilaksanakan secara ketat. Kedua instrumen ini merupakan saringan akhir dari pencapaian kualitas jalan dan kinerja jalan selain penerapan Audit Keselamatan Jalan [Idris, 2008]. Beberapa variable SPM tampaknya perlu dipertegas seperti untuk SPM jaringan jalan terkait dengan indikator kinerja keselamatan. Di dalam SPM jalan tol sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392 tahun 2005 tentang SPM jalan tol hanya memasukkan kelengkapan keselamatan jalan. Indikator penilaiannya cenderung hanya pemenuhan perangkat-perangakat keselamatan secara kuantitas. Indikator lain seperti variable PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) juga harus ada penyesuaian di setiap daerah yang hanya mungkin bisa digunakan untuk ruas-ruas jalan propinsi. SPM jalan nasional tampaknya harus dibuat secara tersendiri agar penilaian kinerja jaringan jalan Trans Asia bisa dilakukan secara seragam sekalipun ruas-ruas jalan tersebut melintasi berbagai propinsi yang notabene memiliki PDRB berbeda. Oleh karena itu, guna melengkapi implementasinya, uji laik fungsi dan SPM khusus untuk jalan nasonal yang menjadi bagian dari Trans Asia di Indonesia dipandang perlu dibuat secara terpisah.
9. KESIMPULAN DAN SARAN
Pembangunan Trans Asia sebagai salah satu infrastruktur pembangunan ekonomi di Asia membawa sejumlah konsekuensi yang luas terutama dari aspek lalu lintas dan trasportasi. Guna mendukung pembangunan tersebut diperlukan sejumlah kesiapan teknologi bidang jalan dan jembatan, kebijakan dan standar-standar pendukung yang dibutuhkan antara lain:
a) Pemenuhan standar desain jalan yang harus disesuaikan dengan standar Trans Asia, sekalipun sebagian besar parameter desain dipandang sudah sesuai standar Trans Asia. Standar geometrik jalan untuk ruas jalan antar kota dan jalan perkotaan, guna mendukung desain jalan berstandar internasional yang ada saat ini dinilai masih layak untuk diterapkan.
b) Strategi keselamatan jalan yang lebih berorientasi kepada bagaimana meningkatkan desain jalan yang lebih berwawasan keselamatan jalan. Secara teknologi, Departemen Pekerjaan Umum telah memiliki sejumlah NSPM yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan jalan yang berwawasan keselamatan.
c) Pengaturan lalu lintas yang mencakup perambuan dan pemarkaan dipandang masih perlu penyesuaian, oleh karena itu disarankan untuk menyiapkan model perambuan dan pemarkaan yang bisa dipahami secara domestik maupun internasional
d) Pembangunan penghubung tetap, baik berupa jembatan maupun terowongan di Selat Bali, Selat Sunda, dan Selat Malaka merupakan suatu bentuk pengintegrasian koridor Trans Asia di Indonesia dengan koridor utama di Semenanjung Malaysia. Secara teknologi pembangunan penghubung tetap tersebut dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan selama ini, seharusnya tidak menjadi permasalahan.
e) Perlunya penyiapan konsep uji laik fungsi dan SPM jalan yang diperlukan untuk semua ruas jalan di Indonesia dan ruas jalan Trans Asia di Indonesia. Sehingga untuk mewujudkan penerapan kedua instrumen tersebut harus disesuaikan dengan kondisi ruas jalan Trans Asia. Oleh karena itu disarankan untuk mengkaji ulang sejumlah variable,terutama berkaitan dengan SPM jaringan jalan.
10. DAFTAR PUSTAKA
Erwin Kusnandar (2008), “Pedoman Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota”, Bahan diseminasi Geometrik dan Keselamatan di Propinsi Banten, Riau, dan Bali pada tahun 2008, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Bandung.
Hikmat Iskandar (2008), “Standar Jalan yang berwawasan keselamatan transportasi darat”, Bahan diseminasi Geometrik dan Keselamatan di Propinsi Banten, Riau, dan Bali pada tahun 2008, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Bandung.
Muhammad Idris (2009), “Road Map Litbang Keselamatan Jalan”, Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Bandung.
Muhammad Idris (2008), “Audit Keselamatan Jalan”, Bahan diseminasi Geometrik dan Keselamatan di Propinsi Banten, Riau, dan Bali pada tahun 2008, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Bandung.
M Sjahdanulirwan (2008), “Pra-FS Jembatan Selat Malaka”, Laporan Akhir, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Bandung.
UNESCO - United Nations Economic and Social Council (2007), “Transport and Tourism Issues: IMPROVING ROAD SAFETY ON THE ASIAN HIGHWAYS”, Economic and Social Commisions for Asia and Pacific, Bangkok.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar