Tahun 1959 adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah
kebebasan yang dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno
mengeluarkan Pnps No 7 Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan
terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden
No 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah
hanyalah PNI, NU , PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo),
PSII , Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba.
Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lain nya,
tidak diakui dan dibubarkan.
Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai
20,92 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk
Jakarta Raya (26,12 persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera
Tengah (50,77 persen), Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33 ,
25 persen), Sulawesi Tenggara Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35
persen). Pembubaran Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan
pukulan telak bagi kekuatan politik Islam.
Sebagianwilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap memiliki
karakter sebagai basis ma ssa Islam yang kuat ketika pemilu kembali
dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat ,
dan Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyak anda riwilayah lain di
Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu,
Lampung, dan Sumatera Utara , telah berubah warna. Wilayah ini cenderung
menjadi basis partai nasionalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar