Kesiapan Teknologi Jalan dan Jembatan Indonesia Menghadapi Pembangunan Jalan Trans ASIA dan ASEAN Highway
Hampir
semua ruas-ruas jalan strategis nasional di pulau Jawa, Bali dan
Sumatera menjadi bagian jaringan Trans Asia (termasuk Asean Highways),
yang terbagi ke dalam koridor AH-2 dan AH-25. Koridor AH-2 terbentang
dari Denpasar (Indonesia) hingga ke kota Khosarary (Iran) melalui India,
yang sebagian besar di wilayah Indonesia melalui jalur-jalur strategis
nasional seperti jalur pantai Utara Jawa (Pantura Jawa), sedangkan
koridor AH-25 pada jalur lintas Timur Sumatera (Jalintim Sumatera).
Penetapan beberapa ruas jalan strategis nasional ke dalam jaringan jalan
Trans Asia menuntut kesiapan teknologi bidang Jalan dan Jembatan,
terutama di dalam mengantispasi pembangunan jalan Trans Asia tersebut di
Indonesia.
Standar desain jalan yang digunakan oleh Indonesia saat ini pada
prinsipnya hampir tidak berbeda dengan standar desain sebagaimana yang
ditetapkan oleh Trans Asia, kecuali pada ruas-ruas jalan eksisting saat
ini. Sementara itu teknologi keselamatan jalan yang sedang diprogramkan
di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum lebih berorientasi kepada
peningkatan aspek geometrik melalui penerapan rekayasa keselamatan serta
penggunaan Audit Keselamatan Jalan. Untuk pengaturan lalu lintas yang
selama ini banyak mengacu kepada Keputusan Menteri Perhubungan No. 61
dan 62 tahun 1980 dipandang perlu beberapa penyesuaian terutama terhadap
penerapan rambu yang bersifat internasional.
Demikian juga dengan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda dan
Jembatan Selat Malaka sebagai upaya pengintegrasian koridor AH-25, AH-2
ke koridor utama di Semenanjung Malaysia berdasarkan hasil kajian
pra-feasibility study dipandang cukup layak. Secara keseluruhan,
pelaksanaan pembangunan Trans Asia didukung oleh kesediaan sejumlah
pedoman teknis dari berbagai aspek teknologi jalan, jembatan dan
keselamatan jalan. Terakhir, guna mewujudkan infrastruktur secara
berkualitas diperlukan pelaksanaan uji laik fungsi dan Standar Pelayanan
Minimum.
1. PENDAHULUAN
Pada awalnya Trans Asia, termasuk di dalamnya Asean Highways, merupakan
sebuah gagasan besar untuk menyatukan negara-negara Asia. Gagasan ini
dirintis oleh United Nations Economy and Social Commission Organisation
[UNESCO, 2007] untuk Asia Pacific sejak lima puluh tahun yang lalu yang
bertujuan untuk mengintegrasikan negara-negara Asia dalam berbagai
bidang seperti transportasi, perdagangan, pariwisata internasional, dan
banyak hal terutama di dalam rangka meningkatkan kualitas hidup (quality
life) negara-negara Asia. Kini Trans Asia muncul diz hadapan semua
negara-negara Asia yang semula hanya sebuah mimpi, dan sekarang menjadi
sebuah kenyataan yang memerlukan sikap proaktif dari semua negara yang
dilintasinya. Sejak tahun sembilan puluhan, implementasi Trans Asia
dilakukan lebih intensif. Apalagi sejak saat itu, secara politis
negara-negara Asia tidak lagi terkotak-kotak ke dalam blok-blok faham
politik tertentu. Kemudian isu globalisasi yang ditandai dengan
meleburnya pasar domestik menjadi pasar global yang dikenal dengan era
pasar bebas, seakan antar negara dengan negara lain tanpa sekat yang
berarti secara ekonomi. Untuk mengintegrasikan semua kepentingan
negara-negara Asia tersebut, Trans Asia sebagai prasarana jalan memegang
peranan yang tidak diragukan lagi. Trans Asia menjadi alat pemersatu
negara-negara Asia yang melintasi batas-batas teritorial daratan, sungai
dan lautan. Untuk Indonesia, sebagian besar ruas-ruas jalan strategis
nasional menjadi bagian jaringan Trans Asia. Koridor-2 Trans Asia
terbentang dari Denpasar (Indonesia) hingga ke kota Khosarary (Iran)
melalui India, yang sebagian besar di wilayah Indonesia melalui
jalur-jalur strategis nasional seperti jalur pantai Utara Jawa (Pantura
Jawa) dan jalur lintas Timur Sumatera (Jalintim Sumatera). Penetapan
beberapa ruas jalan strategis nasional ke dalam jaringan jalan Trans
Asia mau tidak mau harus segera diantisipasi terutama dari aspek
teknologi jalan dan jembatan. Beberapa ruas jalan di Indonesia yang
menjadi bagian dari Trans Asia koridor-2 (AH-2) belum sepenuhnya
terhubungkan secara fisik, terutama segmen ruas jalan nasional dari
Denpasar ke pulau Jawa yang masih dihubungkan dengan moda transportasi
ASDP Ketapang-Gilimanuk. Demikian juga dengan ruas jalur Pantura Jawa
dengan ruas Jalintim Sumatera yang masuk ke dalam koridor AH-25 juga
masih dilayani dengan ASDP Merak-Bakauheuni. Kedua koridor juga masih
belum terintegrasi dengan koridor utama AH-2 di daratan Asia. Penetapan
pelabuhan laut yang akan menjadi pusat perpindahan moda, masih menjadi
sebuah persoalan besar ke depan. Pengintegrasian koridor-koridor
tersebut dengan koridor utama AH-2 merupakan sebuah tantangan besar dari
aspek teknologi. Hambatan geografis sebagai negara kepulauan yang
terpisah-pisah merupakan kendala yang perlu dipecahkan dengan solusi
teknologi yang komprehensif. Departemen Pekerjaan Umum sebagai
departemen teknis memiliki sejumlah kemampuan bagaimana untuk
mengupayakan pengintegrasian koridor-koridor Trans Asia di Indonesia ke
koridor utama di semenanjung Malaysia. Demikian juga dengan kesiapan
teknologi pendukung lainnya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
kesiapan teknologi keselamatan untuk prasarana jalan maupun keselamatan
sarana transportasi. Di samping hambatan geografis dan teknologi,
kesiapan lain yang juga diperlukan adalah peraturan dan
perundang-undangan serta standarisasi bidang jalan dan jembatan.
Undang-Undang No. 38 tahun 2004 dan PP No. 34 tahun 2006 tentang Jalan,
serta revisi UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, menjadi pilar utama implementasi teknologi jalan dan jembatan
serta pengaturan lalu lintas dan keselamatan jalan untuk ruas Trans Asia
di Indonesia. Selain perundang-undangan tersebut, standarisasri bidang
jalan dan jembatan serta standar pelayanan minimum jalan akan memainkan
peranan penting dalam mewujudkan kualitas infrastruktur berstandar
internasional. Dengan berbagai hambatan serta kesiapan teknologi yang
dimiliki, makalah ini mencoba mengetengahkan sudut pandang teknologi
jalan dan jembatan dikaitkan dengan rencana stategis nasional Departemen
Pekerjaan Umum, dalam menyediakan infrastruktur jalan yang aman,
lancar, berkeselamatan, dan efisien sebagaimana tersirat di dalam UU No.
38 tahun 2004 tentang Jalan.
2. TUJUAN
Secara umum, makalah ini bertujuan untuk memaparkan kesiapan Indonesia
khususnya Departemen Pekerjaan Umum di dalam menyiapkan teknologi bidang
jalan dan jembatan di dalam mendukung terintegrasinya koridor Trans
Asia di Indonesia dengan koridor utama di daratan Asia. Guna mewujudkan
tujuan tersebut diperlukan teknologi bidang jalan dan jembatan serta
teknologi keselamatan jalan yang berstandar internasional sehingga dapat
memberi pelayanan jalan yang berstandar internasional di semua bagian
ruas jalan strategis nasional di Indonesia. Oleh karena itu, Standar
Pelayanan Minimum (SPM) jalan Indonesia yang digunakan saat ini, juga
harus dapat mengadopsi kebutuhan pergerakan lalu lintas transportasi
internasional, sehingga kerancuan penerapan standar geometrik jalan
serta standar peraturan lalu lintas dan keselamatan pada ruas-ruas jalan
strategis nasional tersebut dapat diminimalisasi.
3. KONDISI JARINGAN TRANS ASIA DI INDONESIA
Jaringan jalan Trans Asia merupakan rute atau ruas ruas jalan strategis
di Asia antara lain mencakup ruas-ruas jalan yang secara substansi
melintasi lebih dari satu wilayah dan sub-wilayah di dalam suatu negara
hingga ke negara lain. Rata-rata jaringan jalan Trans Asia merupakan
jalan arteri primer dan jalan kolektor primer. Demikian juga ruas-ruas
jalan strategis nasional Indonesia yang menjadi ruas jalan Trans Asia,
baik melaui koridor AH-2 maupun AH-25. Secara total, panjang keseluruhan
ruas jalan Trans Asia di Indonesia mencapai 3.918 km dan panjang
jaringan ASDP mencapai 34 km. Rinciannya, koridor AH-2 yang terbentang
dari Denpasar, Surabaya, Surakarta, Semarang, Cikampek, Jakarta hingga
ke Merak memiliki panjang 1.412 km dengan jaringan ASDP
Ketapang-Gilimanuk sepanjang 8 km. Koridor AH-25 dari Banda Aceh, Medan,
Dumai, Pekanbaru, Jambi, Palembang hingga Bakauheuni memiliki panjang
jalan 2.506 km dan panjang lintasan ASDP Bakauheuni-Merak 26 km.
Rinciannya, koridor AH-2 yang terbentang dari Denpasar, Surabaya,
Surakarta, Semarang, Cikampek, Jakarta hingga ke Merak memiliki panjang
1.412 km dengan jaringan ASDP Ketapang-Gilimanuk sepanjang 8 km. Koridor
AH-25 dari Banda Aceh, Medan, Dumai, Pekanbaru, Jambi, Palembang hingga
Bakauheuni memiliki panjang jalan 2.506 km dan panjang lintasan ASDP
Bakauheuni-Merak 26 km.
a. Kelas jalan
Secara keseluruhan, kategori jalan Trans Asia AH-2 dan AH-25 adalah
jalan nasional dan jalan tol. Total panjang jalan Trans Asia di
Indonesia adalah 3582 km (jalan nasional) dan 336 km (tol). Gambar
berikut lebih jauh menginformasikan standar desain pada ruas-ruas jalan
yang menjadi bagian Trans Asia. Standar desain untuk koridor AH-2
bervariasi antara Primer (23,7%), kelas I (1,3%), kelas I/II (25,1%),
dan kelas II (49,9%). Sedangkan standar desain untuk koridor AH-25
bervariasi antara kelas I/II (1,0%), kelas II/III (39,1%), kelas I/III
(1,2%), kelas II (20,4%), kelas III (37,3%) dan lainnya (1,0%).
b. Lebar perkerasan jalan
Berdasarkan data yang didapat sebagian besar ruas jalan nasional yang
menjadi bagian Trans Asia masih di bawah standar Trans Asia untuk kelas
arteri primer. Lebar jalan nasional yang sesuai standar Trans Asia atau
di atas 7 meter adalah 288,2 km pada koridor AH-25, sedangkan untuk
koridor AH-2 hampir semuanya sesuai standar berkisar 923,9 km.
c. Lebar bahu jalan
Sebagian besar bahu jalan untuk koridor AH-25 masih dibawah 2,00 meter
yaitu sepanjang 2107,6 km (bahu kiri) dan 2082,8 km (bahu kanan),
sedangkan untuk koridor AH-2 adalah sepanjang 625,9 km (bahu kiri) dan
724,0 km (bahu kanan).
d. MST jalan
MST jalan nasional yang menjadi bagian dari Trans Asia antara lain 8 ton
dan 10 ton. Untuk Koridor AH-25 hampir semuanya masih berada di sekitar
8 ton, sedangkan untuk koridor AH-2 sebagian telah menerapkan MST 10
ton. Departemen PU dalam hal ini Ditjen Bina Marga telah memprogramkan
standar MST untuk ruas-ruas jalan strategis nasional seperti jalur
Pantura Jawa dan Jalintim Sumatera dengan 10 ton termasuk jalan tol.
e. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas di negara-negara Asia yang menjadi bagian
perlintasan Trans Asia tidak banyak dibahas, padahal merupakan parameter
penting dalam menilai kinerja prasarana jalan. Demikian juga dengan
data kecelakaan pada koridor AH-2 dan AH-25 di Indonesia, sekalipun
kedua koridor tersebut menjadi penyumbang terbesar angka kecelakaan lalu
lintas di Indonesia. Sebagai gambaran, kecelakaan lalu lintas di
Indonesia yang sering dipublikasikan adalah jumlah korban MD (meninggal
dunia) 10-11 ribu pertahun berdasarkan data Kepolisian Republik
Indonesia. Beberapa instansi memperkirakan angka kecelakaan melebihi 11
ribu MD pertahun. Para peneliti di UGM, misalnya, memprediksi jumlah
korban kecelakaan lalu lintas MD pertahun mencapai 30 ribu orang.
Kedepan angka kecelakaan ini akan memainkan peranan penting dalam
strategi peningkatan kualitas keselamatan jalan melalui pendekatan
accident reduction. Oleh karena itu penataan sistem data-base kecelakaan
lalu lintas (Sidlantas) Indonesia diharapkan menjadi salah satu
prioritas. Di samping untuk penanganan lokasi-lokasi rawan kecelakaan,
angka kecelakaan ini dibutuhkan terutama untuk menghitung tingkat
kecelakaan (accident rate) atau tingkat fatalitas (fatality rate) pada
ruas-ruas Trans Asia sebagai indikator kinerja (performance indicator)
untuk menilai kualitas keselamatan prasarana jalan.
f. Koneksi antar jaringan
Koneksi antar koridor AH-2 dengan AH-25 selama ini masih dilayani oleh
ASDP Ketapang-Gilimanuk (selat Bali) dan ASDP Merak-Bakauheuni (selat
Sunda). Kedua penyeberangan ini memiliki lalu lintas yang cukup padat.
Untuk periode waktu tertentu seperti bulan Ramadan menjelang Idul Fitri,
serta musim liburan sekolah, pemanfaatan kedua penyeberangan ini selalu
menjadi perhatian pemerintah. Keduanya memiliki nilai strategis di
dalam mengembangkan kegiatan perekonomian dan perdagangan. ASDP
Merak-Bakauheuni, misalnya, rata-rata menyeberangkan penumpang dari
Merak menuju Bakauheuni mencapai 2.039.556 penumpang dengan pertumbuhan
6,03% pertahun.
Sebaliknya dari Bakauheuni ke Merak mencapai 2.196.217 penumpang dengan
pertumbuhan 6,29% pertahun di luar angkutan barang lainnya. Demikian
juga dengan penyeberangan Katapang-Gilimanuk yang juga memiliki demand
lalu lintas yang cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada sarana dan
prasarana lain yang mampu menggantikan kedua ASDP dengan segala
kapasitas pelayanan yang melekat padanya. Koneksi lainnya yang tidak
kalah penting adalah koneksi dari AH-2 dan AH-25 ke koridor utama AH-2
di semenanjung Malaysia.
4. STANDAR DESAIN TRANS ASIA
4.1. Standar Geometri
Pada prinsipnya standar geometrik jaringan jalan Trans Asia mengacu
kepada AASHTO sebagaimana yang dikembangkan di Indonesia. Klasifikasi
jalan Trans Asia dibagi ke dalam empat kelas yaitu Primer, kelas I, II,
dan III seperti diberikan pada Tabel-1 berikut.
Tabel-1 Standar jalan Trans Asia
Standar desain geometri untuk Trans Asia dan standar nasional ditetapkan
seperti pada Tabel-2 dan Tabel-3. Dalam PP No. 34 tahun 2006 tentang
Jalan pada pasal 31 (3) mengklasifikasi kelas jalan berdasarkan
spesifikasi penyediaan sebagai berikut:
1) Jalan Bebas Hambatan, yaitu jalan minimum 4 lajur 2 arah dengan
median, kontrol akses penuh, dan pagar pembatas atas kepemilikan jalan
(rumija), dengan lebar lajur paling sedikit 3,50 m.
2) Jalan Raya, yaitu jalan minimum 4 lajur 2 arah terbagi dengan kontrol
akses yang terbatas, dengan lebar lajur paling sedikit 3,50 m.
3) Jalan Sedang, yaitu jalan 2 lajur 2 arah dengan lebar jalur paling sedikit 7,00 m, dan
4) Jalan Kecil, yaitu jalan 2 lajur 2 arah dengan lebar jalur paling sedikit 5,50 m.
Tabel-2 Standar Trans Asia
Sumber: Asian Highway ; L=level; R=rolling; M=mountainous; S=steep
Tabel-3 Standar Indonesia
Sumber: Iskandar, 2008; D=datar; B=bukit; G=gunung
Membandingkan standar desain jalan pada UU No.38 tahun 2004, PP No. 34
tahun 2006, standar gometrik jalan antar kota [Kusnandar, 2008], serta
standar desain Trans Asia, pada prinsipnya standar desain jalan yang
diterapkan di Indonesia sebagian besar memenuhi standar Trans Asia.
Beberapa bagian standar jalan nasional yang sudah beroperasional yang
dipandang secara teknis masih di bawah standar Trans Asia antara lain:
a. Lebar ROW; di dalam standar jalan Indonesia menetapkan ROW jalan
minimal 30 meter untuk jalan bebas hambatan dan 25 meter untuk jalan
raya. Trans Asia menetapkan lebar ROW 50 meter untuk kelas jalan primer
4/2-D dan 40 meter untuk jalan kelas I. Membandingkan perbedaan ROW
jalan lebih berimplikasi kepada perbedaan ruang bebas samping. ROW jalan
yang lebih lebar akan memberi ruang bebas samping yang lebih luas
dibandingkan dengan ROW yang lebih rendah. Mengikuti standar Trans Asia
jelas akan meningkatkan tingkat keselamatan, akan tetapi di sisi lain
memiliki konsekuensi pendanaan untuk pelebaran ROW jalan yang tidak
kecil bila diterapkan untuk semua ruas jalan yang menjadi bagian Trans
Asia.
b. Vertical Clearance; tinggi ruang bebas jalan yang akan diterapkan
untuk semua ruas jalan nasional yang menjadi bagian Trans Asia harus
mempertimbangkan standar Trans Asia. Standar tinggi ruang bebas yang
ditetapkan Trans Asia adalah 4,50 meter. Secara prinsip di dalam standar
geometrik jalan Indonesia sebetulnya sudah menetapkan 5,00 meter.
Pertanyaannya apakah semua ruas jalan nasional, kecuali jalan tol, sudah
menerapkan standar yang sama ?
c. Lebar perkerasan jalan; konsekuensi penerapan Trans Asia di sejumlah
negara mau tidak mau harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh Trans
Asia termasuk lebar lajur jalan nasional. Berdasarkan data yang
didapatkan, pada sebagian besar ruas jalan nasional yang menjadi bagian
Trans Asia, beberapa segmen ruas jalan masih di bawah standar Trans Asia
untuk kelas arteri primer. Lebar jalan nasional yang masih di bawah
7,00 meter masih berkisar 62% pada koridor AH-25, sedangkan untuk
koridor AH-2 hanya berkisar 1,4%. Untuk koridor AH-25 diperkirakan masih
banyak memerlukan usaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan standar
Trans Asia.
d. Lebar bahu jalan; lebar bahu masih menjadi persoalan bila mengikuti
standar Trans Asia, yang menstandarkan lebar bahu jalan untuk arteri
primer 2,00-3,50 meter. Kondisi eksisting lebar bahu jalan nasional
memperlihatkan sebagian masih berada di bawah 2,00 meter baik untuk
koridor AH-25 dan koridor AH-2. Oleh karena itu tugas berat kedepan
adalah bagaimana menyiapkan bahu yang standar yang tentu saja memiliki
konsekuensi pendanaan yang tidak kecil.
Sedangkan beberapa permasalahan yang akan muncul untuk ruas jalan
nasional di mana pada ruas jalan Trans Asia di negara lain tidak diulas
antara lain :
a) Pembatasan akses; pembatasan akses sebagai persyaratan jalan arteri
primer masih menjadi persoalan di ruas-ruas jalan nasional. Sebuah
pertanyaan yang menarik dari para ahli jalan yang sering menggelitik
adalah dapatkah ruas Pantura Jawa sebagai ruas arteri primer dipandang
sebagai kelas jalan raya dengan fungsi arteri? Permasalahan ke depan
adalah bagaimana menerapkan standar geometrik secara maksimal pada
ruas-ruas jalan arteri primer sesuai kelas dan fungsinya.
b) Pembatasan bukaan median; di negara-negara maju penggunaan U-Turn
tidak sepopuler di Indonesia. Penggunaan U-Turn untuk ruas-ruas jalan
arteri primer yang didesain dengan kecepatan relatif tinggi sangat
beresiko terhadap konflik lalu lintas yang pada akhirnya akan
menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
c) Drainase jalan; kebanyakan drainase jalan ruas-ruas jalan nasional,
sebagaimana diungkapkan oleh berbagai media, masih memerlukan perhatian
tersendiri. Bentuk dan dimensi drainase jalan harus didesain sedemikian
rupa agar mampu mengalirkan air di permukaan jalan dengan baik. Fakta
yang sering dihadapi pada kondisi eksisting, seringkali air permukaan
jalan tidak teralirkan dengan baik sehingga mengakibatkan banjir. Selain
berpengaruh terhadap kerusakan jalan, kondisi ini juga berpengaruh
terhadap kecelakaan lalu lintas. Penanganan drainase jalan ke depan
harus mempertimbangkan pengaruh banjir akibat perubahan iklim global.
d) Lalu lintas sepeda motor; Populasi penggunaan sepeda motor di
negara-negara Asia termasuk Indonesia tergolong tinggi. Akan tetapi,
keberadaan sepeda motor pada ruas-ruas jalan Trans Asia tidak
mendapatkan perhatian khusus. Tingginya proporsi kecelakaan lalu lintas
yang melibatkan sepeda motor di negara-negara Asia (81% untuk Indonesia)
seyogianya menjadi catatan penting di dalam penyediaan prasarana yang
berkeselamatan bagi semua pengguna jalan. Riset berkaitan dengan sepeda
motor dipandang perlu guna memberi saran penting terhadap kebijakan
lajur sepeda motor di Indonesia. Puslitbang Jalan dan Jembatan dalam dua
tahun terakhir telah melakukan beberapa kajian penting, sambil menunggu
kebijakan perlu tidaknya lajur sepeda motor. Dalam waktu dekat,
Puslitbang Jalan dan Jembatan akan melakukan seminar nasional terkait
denganinfrastruktur sepeda motor.
Mempertimbangkan perkembangan penggunaan sepeda motor yang tumbuh cepat,
pesatnya pengembangan penyediaan angkutan masal untuk orang, munculnya
kemacetan-kemacetan, dan kecelakaan lalu-lintas yang banyak melibatkan
sepeda motor, serta klasifikasi jalan, maka perlu untuk dipikirkan
pengembangan infrastruktur jalan sebagai berikut:
1) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya,
dalam tingkat kepadatan tertentu dimana volume sepeda motor belum
tinggi, dapat dilakukan pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4
lajur 2 arah terbagi, sepeda motor diwajibkan hanya menggunakan lajur
paling kiri.
2) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, jika
tingkat kepadatan lalu-lintas cukup tinggi dimana volume sepeda motor
juga cukup tinggi, perlu dilakukan pemisahan sepeda motor dari mobil.
Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, dapat dikembangkan ”jalur lambat”
yang sejajar dengan jalur utama, dipisahkan oleh jalur pembagi, sebagai
jalan untuk sepeda motor bercampur dengan kendaraan lambat lainnya.
3) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan sedang,
pada tingkat kepadatan tertentu dan volume sepeda motor cukup tinggi,
perlu dilakukan pemisahan sepeda motor dari kendaraan bermotor roda-4.
Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan jalan dimana bahu
jalan diperlebar untuk jalan sepeda motor dan kendaraan lambat lainnya,
atau meningkat menjadi jalan raya sesuai butir 1) atau butir 2) di
atas.
4) Bila kebutuhan sepeda motor sudah cukup tinggi sehingga sudah sangat
tidak efisien jika digabungkan dengan kendaraan bermotor roda-4, maka
perlu dipikirkan kedepan bagaimana pengembangan Jalur Khusus Sepeda
Motor (JKSM) yang merupakan pengembangan dari jaringan jalan yang ada.
Pengaturan kecepatan aliran lalu-lintas yang diizinkan dalam setiap ruas
jalan tersebut, dapat mengacu kepada batasan-batasan kecepatan rencana
yang diatur dalam PP 34/2006. PP tersebut mengatur bahwa untuk jalan
arteri dalam sistem primer, kecepatan rencana minimum 60km/jam,
sementara itu dalam sistem sekunder minimum 30km/jam. Kecepatan yang
diizinkan untuk pengguna jalan dibatasi tidak melebihi kecepatan rencana
jalan tersebut.
1) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya,
dalam tingkat kepadatan tertentu dimana volume sepeda motor belum
tinggi, dapat dilakukan pemisahan sepeda motor dari mobil. Pada jalan 4
lajur 2 arah terbagi, sepeda motor diwajibkan hanya menggunakan lajur
paling kiri.
2) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan raya, jika
tingkat kepadatan lalu-lintas cukup tinggi dimana volume sepeda motor
juga cukup tinggi, perlu dilakukan pemisahan sepeda motor dari mobil.
Pada jalan 4 lajur 2 arah terbagi, dapat dikembangkan ”jalur lambat”
yang sejajar dengan jalur utama, dipisahkan oleh jalur pembagi, sebagai
jalan untuk sepeda motor bercampur dengan kendaraan lambat lainnya.
3) Pada jalan dengan fungsi arterial dengan spesifikasi jalan sedang,
pada tingkat kepadatan tertentu dan volume sepeda motor cukup tinggi,
perlu dilakukan pemisahan sepeda motor dari kendaraan bermotor roda-4.
Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan jalan dimana bahu
jalan diperlebar untuk jalan sepeda motor dan kendaraan lambat lainnya,
atau meningkat menjadi jalan raya sesuai butir 1) atau butir 2) di
atas.
4) Bila kebutuhan sepeda motor sudah cukup tinggi sehingga sudah sangat
tidak efisien jika digabungkan dengan kendaraan bermotor roda-4, maka
perlu dipikirkan kedepan bagaimana pengembangan Jalur Khusus Sepeda
Motor (JKSM) yang merupakan pengembangan dari jaringan jalan yang ada.
Pengaturan kecepatan aliran lalu-lintas yang diizinkan dalam setiap ruas
jalan tersebut, dapat mengacu kepada batasan-batasan kecepatan rencana
yang diatur dalam PP 34/2006. PP tersebut mengatur bahwa untuk jalan
arteri dalam sistem primer, kecepatan rencana minimum 60km/jam,
sementara itu dalam sistem sekunder minimum 30km/jam. Kecepatan yang
diizinkan untuk pengguna jalan dibatasi tidak melebihi kecepatan rencana
jalan tersebut.
4.2. Dimensi dan MST Kendaraan
Diperkirakan dengan beroperasinya Trans Asia di Indonesia akan membawa
sejumlah konsekuensi tersendiri terutama bagi lalu lintas nasional.
Dimensi kendaraan sebagai salah satu parameter di dalam perencanaan
desain geometri harus mempertimbangkan dimensi kendaraan yang beroperasi
di negara-negara Asia lainnya. Demikian juga dengan penerapan MST untuk
ruas-ruas jalan nasional yang menjadi bagian dari Trans Asia harus
mempertimbangkan MST di negara-negara lainnya. Untuk Indonesia, dimensi
kendaraan dan MST yang berlaku adalah seperti diberikan pada Tabel-4.
Dimensi dan MST kendaraan pada tabel tersebut merupakan standar
pelayanan jalan berdasarkan klasifikasi, fungsi dan pemanfaatannya
sebagaimana termuat di dalam UU No. 38 tahun 2004 dan PP No. 34 tahun
2006 tentang Jalan, serta PP No. 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan
Pengemudi, dan revisi UU No. 14 tahun 1992 (yang saat ini sedang dalam
pengesahan).
Sumber: Iskandar, 2008
Dimensi dan MST kendaraan sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan
menjadi standar minimum [Iskandar, 2008] yang harus dipenuhi guna
mewujudkan keselamatan transportasi darat. Penerapan dimensi dan MST
kendaraan untuk ruas arteri bagi ruas-ruas jalan yang menjadi bagian
Trans Asia khusus untuk jalan kelas I dengan fungsi arterial dijinkan
dengan MST >10 ton. Namun bila memasuki kelas dan fungsi jalan yang
lebih rendah, tentunya diperlukan pengaturan sehingga kendaraan dengan
MST>10 ton tidak serta merta diperkenankan. Oleh karena itu,
tantangan ke depan perpindahan moda berdasarkan ukuran dan MST kendaraan
harus difasilitasi dengan terminal barang. Di sisi lain, untuk
ruas-ruas jalan Trans Asia baik pada koridor AH-2 dan AH-25 yang belum
memiliki standar jalan dengan MST>10 ton ke depan harus menyesuaikan
dengan standar Trans Asia untuk jalan kelas primer dan kelas I yang
berstandar MST 10 ton. Pembatasan beban seperti yang dinyatakan di dalam
perundang-undangan pada dasarnya selain untuk mewujudkan parasarana
transportasi yang aman, juga untuk mencegah terjadinya overloading yang
dapat berdampak terhadap kerusakan permukaan jalan. Konsekuensi
kerusakan jalan tidak saja terhadap terjadinya penurunan umur rencana
jalan, tetapi memiliki dampak yang lebih luas ke bidang lain seperti
kecelakaan lalu lintas dan makin lamanya waktu perjalanan, sebagaimana
yang terjadi pada ruas-ruas jalan di jalur Pantura Jawa.
5. KESELAMATAN JALAN
Berdasarkan hasil deklarasi tentang upaya peningkatan keselamatan jalan
di Asia Pasifik pada tanggal 11 November 2006, antara lain:
a) Membuat kebijakan prioritas keselamatan jalan
b) Membuat jalan yang berkeselamatan untuk kelompok vulnerable road user yang mencakup pejalan kaki, pesepeda, dan sepeda motor
c) Membuat jalan yang lebih berkeselamatan yang mampu mengurangi keparahan kecelakaan
d) Mengembangkan Trans Asia sebagai sebuah model keselamatan jalan.
Program peningkatan keselamatan di Indonesia secara prinsip memiliki
aspek legalitas yang kuat yang antara lain tersirat di dalam Kesepakatan
Bersama tentang rencana aksi keselamatan jalan oleh empat Menteri dan
Kapolri pada tahun 2004. Kesepakatan tersebut antara lain berisi
kerjasama lintas sektoral terkait keselamatan jalan yang mencakup:
a) Pendidikan masyarakat tentang tata tertib berlalu lintas sejak usia dini
b) Ketersediaan informasi masyarakat tentang lalu lintas
c) Peraturan perundang-undangan lalu lintas & penegakan hukum
d) Persyaratan prasarana jalan
e) Persyaratan fasilitas perlengkapan jalan
f) Persyaratan kegawatdaruratan jalan
g) Pendanaan keselamatan jalan
Selain itu, di dalam RPJM-2 tahun 2010-2014 Departemen Pekerjaan Umum
juga mengisyaratkan komitmen yang kuat tentang upaya peningkatan
keselamatan jalan. Salah satu isi RPJM-2 tersebut adalah mengembangkan
sistem transportasi nasional yang andal dan berkemampuan tinggi yang
bertumpu pada aspek keselamatan, dan keterpaduan antar moda, antar
sektor, antar wilayah, aspek sosial budaya, dan profesionalitas sumber
daya manusia transportasi. Strategi peningkatan keselamatan jalan yang
dikenal adalah pencegahan kecelakaan dan pengurangan kecelakaan.
Pencegahan kecelakaan berorientasi kepada bagaimana mengupayakan desain
jalan yang lebih berkeselamatan (safer road) diterapkan sejak dini pada
ruas-ruas jalan kita. Sedangkan pendekatan pengurangan kecelakaan adalah
bersifat penanganan pada daerah rawan kecelakaan lalu lintas.
Pendekatan terakhir ini membutuhkan dukungan data kecelakaan lalu
lintas, yang selama ini masih memerlukan penataan yang lebih serius dan
lebih komprehensif.
Beberapa pendekatan yang dilakukan serta kesiapan teknologi keselamatan
sesuai road map litbang keselamatan jalan [Idris, 2009], pada prinsipnya
bagaimana mengupayakan desain jalan yang lebih berkeselamatan dengan
prioritas ruas jalan Trans Asia di Indonesia. Adapun kesiapan
panduan/teknologi yang dimiliki oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan saat
ini antara lain:
a) Pedoman penanganan lokasi kecelakaan lalu lintas,
b) Pedoman audit keselamatan jalan,
c) Pedoman pendataan kecelakaan lalu lintas,
d) Standar Geometrik Jalan antar kota,
e) Buku Toward Safer Road Indonesia,
f) Teknologi pengurang kecepatan (rumble strip, rumble area, road hump).
Di samping tersedianya pedoman-pedoman tersebut, secara berkala akan
terus di-update guna menyesuaikan kondisi lalu lintas dan teknologi yang
berkembang. Pada prinsipnya teknologi yang dihasilkan oleh Puslitbang
Jalan dan Jembatan harus siap diaplikasikan ke semua ruas jalan Trans
Asia di Indonesia.
6. PENGATURAN LALU LINTAS
Pengaturan lalu lintas tidak kalah pentingnya untuk ditinjau seiring
dengan konsekuensi penerapan Trans Asia di Indonesia. Pengaturan lalu
lintas yang mencakup perambuan, marka serta bangunan pengaman jalan
selama ini berorientasi kepada Peraturan Menteri Perhubungan No. 61 dan
62 tahun 1983 serta beberapa pedoman perencanaan perambuan dan marka
jalan yang digunakan di lingkungan Depertemen Pekerjaan Umum. Ke depan
masih banyak penyesuaian terkait dimensi, warna, bahasa, dan penempatan
dari perambuan dan marka jalan untuk diterapkan pada Trans Asia di
Indonesia.
a) Rambu jalan; rambu jalan sebagai bagian pengaturan lalu lintas
diperkirakan akan mengalami beberapa penyesuaian mengikuti standar
internasional sebagai dasar pengaturan yang diterapkan di Trans Asia.
Selain bentuk dan ukuran yang harus disesuaikan khususnya untuk jalan
arteri primer, beberapa rambu petunjuk yang menggunakan bahasa Indonesia
juga hendaknya dilengkapi dengan bahasa Inggris sebagai bahasa
internasional. Penggunaannya atau penempatannya tidak harus dalam satu
tiang, akan tetapi bisa diatur berselang pada tiang berbeda agar
informasi yang diberikan bisa difahami baik oleh pengguna jalan domestik
maupun internasional. Bersamaan dengan itu, diperlukan sosialisasi
penggunaan rambu internasional kepada pengguna jalan domestik, khususnya
pada ruas-ruas jalan Trans Asia.
b) Marka jalan; sama seperti halnya dengan rambu jalan, ukuran dan warna
juga harus disesuaikan dengan standar internasional. Kecuali itu, yang
tidak kalah pentingnya adalalah kualitas marka agar mampu berfungsi baik
pada siang, malam, kondisi hujan, dan sebagainya.
c) Patok kilometer; ini juga perlu disesuaikan dengan standar internasional, agar pemanfaatannya dapat lebih optimal.
d) Bangunan pengaman tepi jalan; khususnya median barrier yang
ditempatkan sebagai pemisah jalur lalu lintas. Sebuah model atau desain
yang disarankan untuk median fisik adalah median concrete barrier model
New Jersey terutama untuk mensiasati lebar median jalan yang kurang dari
3 meter. Model lain yang juga sering digunakan adalah guardrail(rel
pengaman) atau wire rope barrier. Model terakhir ini masih jarang
digunakan di Indonesia sehingga dipandang masih perlu kajian yang lebih
komprehensif. Puslitbang Jalan dan Jembatan di dalam road map
penelitiannya juga telah mengagendakan penelitian model wire rope
barrier ini sebagai salah satu pilihan model median barrier untuk
ruas-ruas jalan di Indonesia.
7. JEMBATAN SELAT SUNDA DAN JEMBATAN SELAT MALAKA
Kendala yang dihadapi untuk menyatukan koridor Trans Asia, baik di
Indonesia maupun ke koridor utama di Semenanjung Malaysia, adalah
hambatan geografis berupa lautan dan kondisi tanah pendukung di
bawahnya. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengupayakan agar koridor
Trans Asia di Indonesia serta jaringan di daratan Asia bisa diwujudkan
secara fisik berupa jembatan (atau terowongan) di Selat Bali, Selat
Sunda dan Selat Malaka, sehingga lalu lintas darat menghubungkan
koridor-koridor Trans Asia dapat terhubungkan. Sampai sejauh ini baru
Jembatan Selat Sunda (JSS) dan Jembatan Selat Malaka (JSM) yang telah
memiliki kajian awal berupa Pra-Feasibility Study (Pra-FS) oleh
Departemen PU [Sjahdanulirwan, 2008]. Rencana pembangunan kedua jembatan
berdasarkan Pra-FS dipandang cukup layak, baik dari aspek teknologi dan
ekonomi, sehingga perlu ditindaklanjuti dengan FS.
Kajian JSS mencakup rencana jembatan rute-1 di utara (diusulkan
Balitbang PU), dan rute-2 di selatan (diusulkan Wiratman). Sedangkan
rute terowongan (diusulkan Sindur) berada sedikit di utara rute-1
jembatan. Kelemahan utama terowongan dibandingkan jembatan adalah
perlunya sistem pengamanan lebih ketat terhadap gangguan keselamatan,
bencana alam, atau sabotase. Untuk lokasi jembatan, dengan alternatif
bentang mulai 1200 meter (tiga kali ukuran kapal tanker terbesar) hingga
4700 meter, pemilihan rute-1 atau rute-2 sedikit banyak bergantung pada
potensi sesar di masing-masing rute, kedalaman laut dan tanah keras,
serta koneksi dengan jaringan tol yang sudah ada. Bentang jembatan
suspension terbesar di dunia adalah 1991 meter di Akashi-Kaikyo, Jepang,
tahun 1998, dan masih dalam rencana 3300 meter di Messina (Italia), dan
5000 meter di Gibraltar (Spanyol). Indonesia telah memiliki pengalaman
jembatan antar pulau, yaitu jembatan Suramadu yang memiliki bentang 434
meter.
Sementara itu untuk JSM, potensi bencana alam (utamanya kegempaan)
relatif tidak sebesar JSS, oleh karena itu penggunaan terowongan masih
memungkinkan. Lokasi yang dikaji mencakup koridor I, II, and III. Karena
areanya lebih luas dari JSS, maka pemilihan koridor juga sangat
dipengaruhi oleh rencana tata ruang wilayah/pulau, selain aspek-aspek
teknis dan ekonomi. Pengalaman Indonesia di bidang terowongan jalan raya
masih minim, mungkin baru dimulai pada terowongan Nagrek di Jawa barat.
Pengalaman selama ini lebih banyak pada terowongan kereta api dan air.
Sementara itu di negara Malaysia, tempat JSM ini akan tersambung, telah
memiliki Smart Tunnel sepanjang 9,7 km. Hal lain yang juga penting
adalah aturan internasional tentang batas-batas pelayaran, dan
persetujuan rute dari negara yang terkait (Malaysia/Singapore).
8. LAIK FUNGI JALAN DAN STANDAR PELAYANAN MINIMUM
Penerapan laik fungsi jalan dan standar pelayanan minimum (SPM) jalan
sebagaimana tersirat di dalam UU No. 38 tahun 2004 serta PP No. 34 tahun
2006 tentang Jalan harus dilaksanakan secara ketat. Kedua instrumen ini
merupakan saringan akhir dari pencapaian kualitas jalan dan kinerja
jalan selain penerapan Audit Keselamatan Jalan [Idris, 2008]. Beberapa
variable SPM tampaknya perlu dipertegas seperti untuk SPM jaringan jalan
terkait dengan indikator kinerja keselamatan. Di dalam SPM jalan tol
sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392 tahun 2005 tentang SPM
jalan tol hanya memasukkan kelengkapan keselamatan jalan. Indikator
penilaiannya cenderung hanya pemenuhan perangkat-perangakat keselamatan
secara kuantitas. Indikator lain seperti variable PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) juga harus ada penyesuaian di setiap daerah yang hanya
mungkin bisa digunakan untuk ruas-ruas jalan propinsi. SPM jalan
nasional tampaknya harus dibuat secara tersendiri agar penilaian kinerja
jaringan jalan Trans Asia bisa dilakukan secara seragam sekalipun
ruas-ruas jalan tersebut melintasi berbagai propinsi yang notabene
memiliki PDRB berbeda. Oleh karena itu, guna melengkapi implementasinya,
uji laik fungsi dan SPM khusus untuk jalan nasonal yang menjadi bagian
dari Trans Asia di Indonesia dipandang perlu dibuat secara terpisah.
9. KESIMPULAN DAN SARAN
Pembangunan Trans Asia sebagai salah satu infrastruktur pembangunan
ekonomi di Asia membawa sejumlah konsekuensi yang luas terutama dari
aspek lalu lintas dan trasportasi. Guna mendukung pembangunan tersebut
diperlukan sejumlah kesiapan teknologi bidang jalan dan jembatan,
kebijakan dan standar-standar pendukung yang dibutuhkan antara lain:
a) Pemenuhan standar desain jalan yang harus disesuaikan dengan standar
Trans Asia, sekalipun sebagian besar parameter desain dipandang sudah
sesuai standar Trans Asia. Standar geometrik jalan untuk ruas jalan
antar kota dan jalan perkotaan, guna mendukung desain jalan berstandar
internasional yang ada saat ini dinilai masih layak untuk diterapkan.
b) Strategi keselamatan jalan yang lebih berorientasi kepada bagaimana
meningkatkan desain jalan yang lebih berwawasan keselamatan jalan.
Secara teknologi, Departemen Pekerjaan Umum telah memiliki sejumlah NSPM
yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan jalan yang berwawasan
keselamatan.
c) Pengaturan lalu lintas yang mencakup perambuan dan pemarkaan
dipandang masih perlu penyesuaian, oleh karena itu disarankan untuk
menyiapkan model perambuan dan pemarkaan yang bisa dipahami secara
domestik maupun internasional
d) Pembangunan penghubung tetap, baik berupa jembatan maupun terowongan
di Selat Bali, Selat Sunda, dan Selat Malaka merupakan suatu bentuk
pengintegrasian koridor Trans Asia di Indonesia dengan koridor utama di
Semenanjung Malaysia. Secara teknologi pembangunan penghubung tetap
tersebut dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan selama ini,
seharusnya tidak menjadi permasalahan.
e) Perlunya penyiapan konsep uji laik fungsi dan SPM jalan yang
diperlukan untuk semua ruas jalan di Indonesia dan ruas jalan Trans Asia
di Indonesia. Sehingga untuk mewujudkan penerapan kedua instrumen
tersebut harus disesuaikan dengan kondisi ruas jalan Trans Asia. Oleh
karena itu disarankan untuk mengkaji ulang sejumlah variable,terutama
berkaitan dengan SPM jaringan jalan.
10. DAFTAR PUSTAKA
Erwin Kusnandar (2008), “Pedoman Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota”, Bahan diseminasi Geometrik dan Keselamatan di Propinsi Banten,
Riau, dan Bali pada tahun 2008, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan,
Bandung.
Hikmat Iskandar (2008), “Standar Jalan yang berwawasan keselamatan
transportasi darat”, Bahan diseminasi Geometrik dan Keselamatan di
Propinsi Banten, Riau, dan Bali pada tahun 2008, Pusat Litbang Jalan dan
Jembatan, Bandung.
Muhammad Idris (2009), “Road Map Litbang Keselamatan Jalan”, Balai
Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan, Pusat Litbang Jalan dan
Jembatan, Bandung.
Muhammad Idris (2008), “Audit Keselamatan Jalan”, Bahan diseminasi
Geometrik dan Keselamatan di Propinsi Banten, Riau, dan Bali pada tahun
2008, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Bandung.
M Sjahdanulirwan (2008), “Pra-FS Jembatan Selat Malaka”, Laporan Akhir, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Bandung.
UNESCO - United Nations Economic and Social Council (2007), “Transport
and Tourism Issues: IMPROVING ROAD SAFETY ON THE ASIAN HIGHWAYS”,
Economic and Social Commisions for Asia and Pacific, Bangkok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar