Jumat, 10 Mei 2013

Sebab-sebab Perpecahan dan Solusinya


Definisi
Perpecahan atau perselisihan dalam istilah syari’ah adalah ikhtilaf. Ikhtilaf terbagi menjadi dua yakni ikhtilaf tanawwu’ (keberagaman) dan ikhtilaf tadhaadh (kontradiktif). Ikhtilaf tanawwu’ merupakan perbedaan yang terjadi karena keberagaman dalil atau globalnya makna dari satu dalil dari suatu masalah tertentu sehingga memungkinkan untuk ditarik ke berbagai kesimpulan yang berbeda, misalnya tentang do’a iftitah Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam, dimana terdapat beberapa riwayat (dalil) tentang susunan do’a iftitah beliau, juga tentang permasalahan posisi tangan pada saat I’tidal (setelah ruku’) apakah kembali bersedekap atau diturunkan seperti sebelum takbiratul ihram dan banyak lagi permasalahan yang masuk kedalam kategori ikhtilaf tanawwu’ ini. Untuk ikhtilaf jenis ini sikap kita harus tolerans (lapang dada) dalam berselisih tentang masalah tersebut. Ada pula ikhtilaf tadhaadh yakni perselisihan yang sifatnya kontradiktif dimana salah satunya pasti benar dan yang lainnya salah. Misalnya perselisihan antara Islam dengan yahudi, nashrani dan sebagainya, ini sudah pasti salah satunya benar yakni Islam dan selainnya salah. Dan sikap kita dalam perselisihan jenis ini adalah tidak boleh tolerans didalamya dan kita harus mengingkarinya. Adapun Ikhtilaf yang akan kita bicarakan kali ini adalah perpecahan jenis kedua yaitu ikhtilaf tadhaadh.
Cikal Bakal Perpecahan
Perlu kita ketahui bahwa perpecahan merupakan sunnatullah (skenario Allah Ta’ala) sebagaimana perpecahan ini juga terjadi pada ummat-ummat sebelum Nabi Muhammad Shalallahu ‘Aalayhi Wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al Baqarah 213:
”Dahulunya manusia merupakan ummat yang satu (dalam persatuan). Maka kemudian Allah mengutus kepada mereka Nabi-Nabi yang memberikan kepada mereka berita gembira dan peringatan (dari Allah). Dan diturunkan (pula) bersama para Nabi itu Al Kitab yang membawa kebenaran (firman Allah) supaya mereka jadikan rujukan hukum diantara mereka atas permasalahan yang mereka perselisihkan padanya. Dan tidaklah berselsisih orang-orang yang diberi kitab kecuali setelah datangnya bayyinaat kepada mereka, yaitu karena al baghyi diantara mereka….”. (Q.S.Al Baqarah 213).
Di dalam ayat diatas Allah Ta’ala menceritakan bahwa dulunya ummat manusia berada dalam satu persatuan agama. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan kepada mereka para Nabi yang membawa kitab Allah. Tujuannya ialah agar ummat kala itu mau merujuk kepada Kitab Allah tersebut ketika terjadi perselisihan diantara mereka. Namun meskipun telah datang kepada mereka Nabi dan Kitabullah yang dibawanya dan telah mereka dapatkan penjelasan (bayyinaat) dari keduanya, mereka tetap berselisih dan tidak mau merujuk kepada Nabi dan Kitabullah tersebut sehingga sejak saat itu mulailah mereka berpecah belah. Didalam ayat tersebut Allah Ta’ala juga menerangkan penyebab mengapa mereka tetap berselisih meskipun telah datang kepada mereka bayyinaat, yaitu karena adanya al baghyi diantara mereka. Dalam hal ini Al Imam Al Baghawi menerangkan makna al bagyi dalam ayat ini yaitu dzhulman (kedzaliman) wa hasada (hasad dan dengki).
Demikianlah cikal-bakal perpecahan agama dari ummat manusia ini, dimulai dari orang-orang yang telah diberi bayyinaat atau ilmu tentang agama ini (yang sering kita istilahkan dengan ulama), dimana di dalam hati para ahli ilmu agama ini terdapat kedzhaliman dan kedengkian di antara sesama mereka. Dengan kata lain permasalahannya adalah permasalahan bathin, dimana bathin mereka itu telah dirusakkan dengan sifat dengki diantara sesama mereka sehingga munculah akhlaq dhzahir yang jelek pada mereka yaitu Dzhalim (tidak adil), yang akhirnya mengantarkan mereka kepada malapetaka besar yakni perpecahan dalam agama mereka. Sementara tatkala para pemuka agama tersebut dalam keadaan yang demikian, maka ummat yang mereka pimpin pun otomatis ikut berpecah belah sebagaimana keadaan para pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam menjelaskan ayat diatas Rasulullah Shalallahu `alayhi wasallam bersabda: ”Menimpa kamu suatu penyakit ummat-ummat sebelum kamu, yaitu hasad (dengki) dan benci-membenci. Dialah pencukur (penggundul) agama, bukan sekedar pencukur rambut.(H.R.Tirmidzi)
Disini Rasulullah memeberitakan bahwa sebab perpecahan dan kerusakan agama pada umat ini (ummat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Aalayhi Wasallam ) ialah persis seperti penyakit yang menimpa pada umat-umat sebelumnya yaitu disebabkan oleh al hasad dan al baghdha`, sehingga membinasakan agama mereka. Sehingga dari ayat dan hadits diatas dapat diambil pengertian bahwa ketika umat ini berpecah-belah, berarti sesungguhnya pada ummat ini sedang dihinggapi penyakit pada dzhahir dan bathin mereka. Pada dzhahir mereka yaitu pada akhlaqnya yaitu kedzhaliman, dan penyakit pada bathin mereka yaitu hasad (kedengkian). Dan untuk dapat lepas dari penyakit lahir batin seperti ini tentu dibutuhkan perjuangan dan keikhlashan yang kuat.
Solusi
Ketika kita dihadapkan pada sebuah sunnatullah seperti kondisi perpecahan dan perselisihan yang seperti ini, maka tentunya kita tidak akan dibiarkan oleh Allah Ta`ala begitu saja, sebab pasti Allah Ta`ala akan berikan jalan keluarnya. Dalam hal ini sikap yang paling pertama yang mesti kita lakukan yang dituntunkan kepada kita adalah agar mengambil sikap mencari keselamatan diri sendiri terlebih dahulu dari berbagai fitnah perpecahan tersebut, dan bukan berfikir untuk menyatukan kembali ummat. Sebab yang terpenting dan menjadi prioritas utama dalam hidup ini serta sesuai dengan kemampuan kita saat ini adalah menjaga keselamatan diri pribadi kita dan agama kita agar jangan sampai dirusakkan oleh berbagai penyakit tersebut yang akan menimbulkan malapetaka besar pada agama dan masa depan akhirat kita. Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(Q.S.At Tahrim 6).
Kemudian lebih dalam lagi kita disuruh memahami bahwa berbagai peristiwa perpecahan tersebut disamping disebabkan oleh pribadi orang–orang yang berilmu, juga disebabkan oleh taqdir Allah. Kita disuruh memahami hal tersebut dengan berbaik sangka kepada Allah Ta`ala bahwa Allah Ta`ala-lah yang telah mentaqdirkan segala perpecahan ini tentunya dengan hikmah dan keadilanNya yang Maha Sempurna.. Dalam menerangkan hal ini Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam bersabda::
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan” (H.S.R. Abu daawud & At Tirmidzi)
Hadits diatas menerangkan bahwa perpecahan ini merupakan taqdir Allah. Sehingga mau tidak mau pasti akan terjadi. Dalam hal ini kita dibimbing kepada cara yang benar dalam menyikapi taqdir Allah Ta`ala ini, yakni ketika kita dihadapkan kepada situasi perselisihan dan perpecahan seperti ini, maka yang terpenting adalah dengan cara berfikir untuk menyelamatkan diri masing-masing terlebih dahulu agar bisa selamat dari fitnah perpecahan itu, yaitu dengan cara berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam yang dalam hal ini dengan mempelajari dan meneliti kembali bagaimana sunnah Nabi Muhammad Shalallahu `Alayhi Wasallam (ajaran Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam yakni Islam) dan sunnah para sahabat (cara para sahabat memahami Islam) dalam menyikapi permasalahan yang sedang diperselisihkan itu, sehingga setelah kita mengetahui secara pasti sikap keduanya terhadap permasalahan yang sedang diperselisihkan itu, kitapun dibimbing untuk merujuk dan berpegang teguh kepada keduanya dan meninggalkan pendapat-pendapat yang lain yang menyelisihi keduanya untuk dalam rangka mengambil langkah selamat dari berbagai fitnah perpecahan tersebut.
Lebih tegas lagi Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam menjelaskan :
Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yahudi terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, satu (golongan) masuk Surga dan yang 70 (tujuh puluh) di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang 71 (tujuh puluh satu) golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah men-jadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan di Neraka”. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Al-Jamaa’ah”. Dalam riwayat lain: ”Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya”.(H.S.R.An Nasaa’I & At Tirmidzi)
Dari beberapa ayat dan hadits diatas, ternyata kita dibimbing untuk berfikir realsitis. Ibnu Umar Radhiyallahu `Anhuma berkata:” kita dilarang untuk membeban-bebankan diri dari apa yang kita tidak mampu melaksanakannya.”. Sehingga dalam mengahadapi kenyataan perpecahan ummat ini, hendaknya kita berfikir tentang apa yang kita mampu, dan jangan berfikir tentang apa yang kita tidak mampu melakukannya. Untuk itu kita dituntunkan Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam agar kita tidak buang-buang energi untuk mencoba-coba kemampuan dengan berhayal untuk mampu mempersatukan seluruh kaum muslimin dalam situasi perpecahan ini, namun kita dituntunkan untuk langsung mencari kepastian yang telah dituntunkan Allah dan RasulNya yakni dengan mempelajari sunnah Nabi dan sunnah para khulafaa` rasyidin, dimana dalam hal ini Islam menuntunkan bahwa perpecahan ummat ialah suatu kemestian dan untuk menyikapinya kita dituntunkan menyelamatkan diri kita masing-masing terlebih dahulu dengan mempelajari Islam dngan pemahaman yang benar dari para sahabat Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam.
Namun bukan berarti kita lantas tidak berusaha untuk mengajak ummat kepada pemahaman yang satu (stándar) yakni pemahaman para shahabat nabi (salafus Shalih), akan tetapi yang dimaksudkan disini adalah kita tetap berusaha mengajak ummat kepada satu pemahaman yang standar yakni memahami Al Qur`an dan Assunnah dengan pemahaman generasi terbaik didalam Islam yakni pemahaman para khulafaa` Rasyidin (para shahabat) terhadap Islam, namun dengan tetap meyakini bahwa perpecahan itu merupakan taqdir Allah atas ummat ini sebagaimana juga pada ummat-ummat sebelumnya, kemudian setelah ini kita yakini maka langkah pertama yang kita prioritaskan dalam menyikapi sunnatullah ini adalah dengan menyelamatkan diri terlebih dahulu dari berbagai fitnah perpecahan itu dengan berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah khulafa` rasyidin, baru kemudian setelah itu kita berfikir untuk menyelamatkan orang lain dengan mengajak mereka memegang teguh pemahaman tersebut dengan sebesar kemampuan yang ada pada kita. Sebab seandainya seluruh ummat Islam mau merujuk kepada pemahaman para salafus shalih dalam memahami berbagai perkara agama, niscaya tidak akan terjadi perpecahan dan akan terwujudlah persatuan yang hakiki.
Maka, sampai sejauh mana kekuatan kita berpegang teguh kepada sunnah Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam dan sunnah para khulafaa` rasyidin dalam situasi perpecahan ummat seperti ini, sebesar itulah sesungguhnya kekuatan yang ada pada diri kita dalam menghadapi berbagai situasi perpecahan tersebut. Wallahu A`lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar